OPINI

Dampak Pandemi Covid-19 terhadap Kondisi Iklim dan Kualitas Udara

Upaya untuk mengendalikan pandemi Covid-19 melalui upaya lockdown di beberapa negara dan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) oleh Pemerintah RI, telah berdampak pada penurunan aktivitas ekonomi dan berkontribusi terhadap penurunan kualitas udara. Namun hingga saat ini masih terlalu dini untuk menilai implikasi konsentrasi gas rumah kaca (GRK) yang bertanggung jawab atas perubahan iklim jangka panjang. Konsentrasi karbon dioksida (CO2) di beberapa stasiun pengamatan utama sejauh ini justru masih lebih tinggi dibandingkan tahun lalu.

Menurut Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) penurunan emisi GRK akibat krisis ekonomi yang dipicu oleh COVID-19 bukan merupakan upaya pengganti untuk Aksi Iklim bersama. Artinya kita semua harus tetap berkomitmen bahwa penurunan emisi GRK tetap harus dilakukan melalui upaya adaptasi dan mitigasi yang masif.

Sekretaris Jenderal WMO, Petteri Taalas, mengatakan, sangatlah tidak tepat untuk meremehkan tantangan kesehatan global yang sangat besar saat ini dan juga hilangnya nyawa sebagai akibat pandemi COVID-19. Namun, sekaranglah saatnya untuk mempertimbangkan bagaimana menggunakan paket stimulus ekonomi untuk mendukung peralihan jangka panjang ke dalam praktik bisnis dan pribadi yang lebih ramah lingkungan.

Menurutnya lagi, pengalaman masa lalu menunjukkan bahwa penurunan emisi selama krisis ekonomi-selanjutnya diikuti oleh kenaikan yang cepat. Dunia perlu mengubah pola lintasan tersebut.

"Dunia perlu menunjukkan kesatuan dan komitmen yang sama untuk aksi iklim dan memotong emisi gas rumah kaca selama pandemi Coronavirus. Kegagalan dalam mitigasi perubahan iklim dapat mempengaruhi kehidupan manusia dan kerugian ekonomi yang lebih besar selama beberapa dekade mendatang," papar Petteri Taalas lagi.

Menurut sebuah analisis yang dilakukan untuk Carbon Brief, upaya penguncian (lockdown) dan pengurangan aktivitas ekonomi di Cina menyebabkan penurunan emisi CO2 sekitar 25% selama empat minggu.

Program Global Atmosphere Watch (GAW) yang digagas oleh WMO telah memberikan kontribusi bagi pengamatan konsentrasi gas rumah kaca dalam jangka panjang. Jaringan Stasiun GAW tersebar di beberapa negara, merupakan tulang punggung dari program GAW. Jaringan ini terdiri dari stasiun pengukuran GAW Global dan Regional. Baik stasiun Global dan Regional dioperasikan oleh Layanan Meteorologi Nasional atau organisasi ilmiah.

Saat ini GAW memiliki 31 stasiun Global, lebih dari 400 stasiun Regional dan sekitar 100 stasiun kontributor dari setiap negara. Pemerintah RI melalui Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) telah berkontribusi dalam program GAW sejak tahun 1996. Saat ini Indonesia telah memiliki 1 Stasiun GAW Global yang berlokasi di Bukit Kototabang, Sumatera Barat dan 2 Stasiun GAW regional yang berlokasi di Palu, Sulawesi Tengah dan Sorong, Papua Barat. Informasi GRK dari ketiga stasiun pengamatan tersebut memberikan kontribusi di dalam mendeskripsikan laju emisi GRK baik dalam skala lokal, regional dan global. Secara geografis wilayah Indonesia berada pada wilayah ekuator tropis, sehinga peran Indonesia dinilai sangat penting di dalam menginformasikan aktivitas GRK dalam mendukung kebijakan RAN MAPI (Rencana Aksi Nasional-Mitigasi Adaptasi Perubahan Iklim).
Secara umum, CO2 telah berada di atmosfer dan lautan selama berabad-abad. Ini berarti bahwa dunia berkomitmen untuk tetap melanjutkan program observasi perubahan iklim terlepas dari adanya penurunan sementara emisi GRK yang disebabkan oleh pandemi Covid-19.

Berdasarkan data rata-rata CO2 bulan Februari 2020 di Stasiun Pengamatan Mauna Loa, Hawaii AS, konsentrasi CO2 tercatat 414,11 ppm (part per million). Hasil ini ternyata masih lebih tinggi dibandingkan data pada bulan Februari 2019, yaitu sebesar dengan 411,75 ppm. Sedangkan berdasarkan hasil pengamatan di Stasiun GAW Bukit Kotobang (Indonesia) rata-rata konsentrasi CO2 pada bulan Februari 2020 tercatat 412,35 ppm. Hasil ini ternyata juga masih lebih tinggi dibandingkan rata-rata konsentrasi CO2 pada bulan Februari 2019 sebesar 406,315 ppm.

Dari kedua data tersebut terlihat bahwa baik pengukuran CO2 yang dilakukan di Mauna Loa AS dengan Kotatobang menunjukkan trend kecenderungan yang sama. Meskipun dari nilai perbandingannya, konsentrasi CO2 di Kototabang masih lebih rendah dibandingkan Mauna Loa.

NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration) menyebutkan bahwa Mauna Loa adalah stasiun pengamatan GRK yang memiliki historis data GRK terpanjang di dunia. Staiun Mauna Loa juga merupakan “stasiun benchmark” dari jaringan Stasiun GAW dunia. Secara fisis, sekitar seperempat dari total emisi GRK diserap oleh lautan. Seperempat lainnya diserap oleh biosfer daratan-termasuk hutan dan vegetasi yang bertindak sebagai carbon sinks.

Menurut beberapa literatur, carbon sinks, atau carbon dioxide sinks, adalah tempat untuk menyimpan atau menyerap gas CO2 yang terdapat di atmosfer bumi. Hutan dan laut adalah tempat alamiah di bumi ini yang berfungsi untuk menjadi tempat penyerapan gas CO2. Gas CO2 diserap oleh tumbuhan yang sedang tumbuh dan disimpan di dalam batang kayunya. Di lautan, gas karbon dioksida digunakan oleh fitoplankton untuk proses fotosintesa, tenggelam ke dalam dasar lautan bersama kotoran makhluk hidup pemakan fitoplankton dan predator-predator tingkat tinggi lainnya sebagai kotoran dan menjadi kerang-kerangan.

Secara alami, biosfer darat mengambil jumlah CO2 yang sama dengan yang dilepaskannya sepanjang tahun dalam siklus musiman. Oleh karena itu, tingkat CO2 rata-rata global umumnya meningkat pada bulan April hingga Mei. Efek alami ini jauh lebih besar daripada pengurangan emisi terkait dengan perlambatan ekonomi baru-baru ini.

Dengan demikian terlalu dini untuk menarik kesimpulan yang kuat tentang signifikansi perlambatan ekonomi ini pada konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Nature Climate Change menunjukkan bahwa krisis keuangan global yang terjadi tahun 2008-2009 ternyata diikuti oleh pertumbuhan emisi yang kuat di negara-negara berkembang, peningkatan emisi GRK di negara-negara maju yang bermuara pada peningkatan intensitas bahan bakar fosil bagi ekonomi dunia.

Pada tahun 2018, fraksi mol gas rumah kaca mencapai keseimbangan baru, dengan fraksi mol rata-rata global karbon dioksida (CO2) pada 407,8 ± 0,1 bagian per juta (ppm), metana (CH4) pada 1869 ± 2 bagian per miliar (ppb) dan dinitrogen oksida (N2O) pada 331.1 ± 0,1 ppb. Data awal ini menunjukkan bahwa konsentrasi gas rumah kaca terus meningkat pada tahun 2019.

Kualitas Udara
Pengamatan dari NASA dan Copernicus Atmospheric Monitoring Service (CAMS) Uni Eropa, menunjukkan bahwa kadar nitrogen dioksida (NO2) berkurang secara signifikan selama kegiatan lockdown di Cina. NO2 merupakan salah satu spesies GRK yang dihasilkan oleh bahan bakar fosil. Di Italia, tren pengurangan bertahap sekitar 10% per minggu selama empat hingga lima minggu terakhir berdasarkan laporan CAMS. Perlu dicatat bahwa penurunan NO2 biasanya diamati setiap musim semi di Italia utara karena pengurangan emisi dari pemanasan domestik dan karena kondisi meteorologi.

Nitrogen dioksida sangat tergantung pada faktor cuaca salah satunya adalah arah dan kecepatan angin. Ini adalah polutan udara gas yang terbentuk ketika bahan bakar fosil dibakar pada suhu tinggi. NO2 berbahaya bagi kesehatan manusia dan, ekosistem. NO2 mampu bertahan di atmosfer umumnya kurang dari sehari sebelum diendapkan atau bereaksi dengan gas lain di atmosfer.

Pengukuran ozon permukaan (surface ozone) di stasiun Global Atmosphere Watch di Monte Cimone, yang mendominasi di Po Valley (Italia Utara) juga menunjukkan penurunan pada Maret 2020. Menurut Consiglio Nazionale delle Recerche Italia (Dewan Riset Nasional Italia) dan Institut Atmosfer dan Ilmu Pengetahuan Iklim Italia, masih terlalu dini untuk menarik kesimpulan tegas tentang penurunan konsentrasi gas rumah kaca yang diakibatkan oleh dampak Covid-19. Selain GRK, konsentrasi materi partikulat (PM2.5) juga menunjukkan tren penurunan. PM2.5 adalah salah satu polutan udara terpenting terkait dampak kesehatan menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

Pemerintah RI melalui BMKG akan berupaya sekuat tenaga untuk melakukan penguatan observasi khususnya di dalam meningkatkan layanan informasi iklim dan kualitas udara kepada Pemerintah RI terkait dengan dampak perubahan iklim melalui upaya adaptasi dan mitigasi. Informasi GRK yang dihasilkan dari 3 Stasiun GAW di Indonesia dapat memberikan jawaban terhadap dampak Covid-19 terhadap perubahan iklim dan kualitas udara di lingkup nasional maupun global.



===
Penulis Kepala Balai Besar Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika Wilayah I Medan.


===
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya orisinal, belum pernah dimuat dan tidak akan dimuat di media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPG) dan data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan). Panjang tulisan 5.000-6.000 karakter. Tulisan sebaiknya tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Kirimkan tulisan Anda ke: redaksimbd@medanbisnisdaily.com



Berita Terkait