Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Gorontalo, Bangka Belitung dan Kepulauan Riau yang luasnya lebih kecil dibanding Tapanuli telah berstatus provinsi. Jadi mengapa empat usulan pembentukan provinsi baru di Sumatra Utara tidak ditunaikan saja?
Sebutlah Provinsi Nias, Provinsi Tapanuli, Provinsi Sumatra Tenggara dan Provinsi Asahan Labuhanbatu.
Aduhai. Setidaknya, bersama povinsi induk, Sumatra Utara, akan ada lima gubernur dilengkapi dengan SKPD dan para pegawainya. Lima ibukota provinsi. Ada pula lima DPRD provinsi. Belum lagi perkantoran baru.
Yang perlu dihitung, jangan sampai ibarat perusahaan, beberapa provinsi baru tidak dapat memenuhi kewajiban keuangan jangka pendek. Sebutlah, untuk pembayaran gaji pegawai dan berbagai kebutuhan rutin sebuah kantor gubernur yang mesti kontan dan tak bisa ditunda. Belum lagi untuk kebutuhan pembangunan di berbagai bidang.
Saya ingat, ada kabupaten di Tapanuli yang berbulan-bulan tak sanggup membayar “gaji” anggota DPRD karena pendapatan asli daerah sangat minus di masa orde baru.
Mengambil contoh di sektor perbankan, jika terjadi gangguan likuiditas sehingga pencairan uang nasabah menjadi tertunda, maka kredibilitas bank tersebut akan jatuh di mata publik. Ini sangat menyedihkan!
Provinsi baru hendaklah memperhitungkan perbandingan antara activa lancar dan pasiva lancar dua berbanding satu (2:1), dan inilah yang dikatakan orang dengan current ration. Bahkan masih diperlukan adanya cash budget.
Cash budget adalah rencana pemasukan dan pengeluaran uang untuk priode tertentu, minimal setahun APBD. Menganggarkan pengeluaran sih gampang, tetapi bagaimana dengan menganggarkan pemasukan?
Biasanya, cash budget cenderung optimistik, dan kurang melihat kenyataannya. Dirancang akan ada pendapatan daerah dari sektor tertentu di bulan tertentu, tetapi dalam prakteknya meleset sehingga neraca keuangan terganggu.
Cash budget juga bisa meleset karena faktor eksternal. Berharap dari APBN belaka, wah, ini mengesankan ketidakmandirian. Apalagi APBN pun masih defisit, target pajak yang tidak tercapai, defisit neraca perdagangan. Semua pun tahu semua itu karena pengaruh krisis keuangan global yang masih terus bergolak.
Bahkan, jika bertolak dari evaluasi yang dilancarkan Kementerian Dalam Negeri, ternyata 86% sumber pendapatan untuk kabupaten-kota dan 53% APBD provinsi berasal dari dana perimbangan yang dialokasikan dari APBN. Masih disubsidi oleh pusat. Tidak heran jika pembentukan provinsi-kabupaten-kota baru di seantero tanah air hanya sekitar 5%-10% yang berhasil.
Padahal dengan UU Nomor 32/2004 yang merevisi UU Nomor 22/1999, sebetulnya, antara lain dimaksudkan untuk menahan hasyrat pemekaran yang menggebu-gebu di seantero tanah air. Karena itu moratorium pemekaran adalah jawaban yang cerdas.
Akan kian berisiko pula, jika hasyrat pemekaran itu hanya dimotivasi segelintir elit yang ingin menduduki jabatan-jabatan baru. Bukan karena kepentingan daerah. Sebelum terlanjur, marilah berhitung dengan seksama.