Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com. Bila dihayati, pesta kawin, kadang bisa lebih sedih dibanding sebuah peristiwa kematian. Apalagi bila yang menikah adalah belahan jiwa si orangtua. Dus, bila yang menikah adalah anak semata wayang. Kesedihan itu pun akan semakin menjadi, bila yang menikah adalah anak perempuan khususnya dari keluarga Batak dan satu-satunya pula.
Demikian cerita sejumlah seniman yang berkumpul di Taman Budaya Sumatra Utara (TBSU), Jalan Perintis Kemerdekaan No 33 Medan, Rabu (24/7/2019)
"Ada teman begitu, tak lama ketika anak perempuannya menikah, dia langsung sakit. Maklum, anaknya yang menikah itu, semata wayang," kata HM Yunus Tampubolon, membuka cerita.
Yunus bercerita, untuk memeriahkan pesta anaknya itu, temannya itu sampai habis-habisan. Mulai dari persiapan sampai konsep acara dan undangan dirancangnya sedemikian rupa.
"Bayangkan, sampai dibuatnya puluhan baleho ucapan selamat dan memfasilitasi undangan dengan mewah. Semua itu, karena cintanya sama anaknya itu. Tak lama setelah pesta, teman itu sakit. Dugaanku karena anaknya tidak lagi serumah dengannya. Begitulah perasaan orangtua itu yah, rasanya tiba-tiba sunyi, kosong," kata Yunus
Pengalaman saya, terutama orang Batak, sambung pria berumur 71 tahun ini, kita biasanya sayang kali sama anak laki-laki apalagi anak pertama. Karena mereka yang bawa marga. Tapi begitu anak perempuan kita yang menikah, barulah terasa. Teriris-iris hati ini. Apalagi pas anak perempuan kita mau dibawa suaminya ke keluarganya, tak terbilang kita apa-apa.
"Dramatis itu, apalagi detik-detik terakhir, sehabis pesta. Begitu acara perpisahan, kalau itu sedih kali rasanya. Teriris-iris hati ini," ujarnya.
Pengalaman lain diceritakan Ahmed Al Hasbi, seniman asal Tanjung Balai. Dikisahkannya, mereka sekeluarga ada lima orang berabang adik. Ketika masih lajang dan serumah dengan orangtua, terasa rumah besar kurang besar. Tapi begitu mereka sudah berkeluarga, ibunya kerap mengeluh pada mereka. "Macam yang besar kalilah kulihat rumah ini. Tak bisa lagi kusapu," kata Ahmed menirukan ibunya dengan logat Tanjung Balai.
Lain lagi kisah yang diceritakan Yunus Rangkuti. Kalau di Mandailing, kata Yunus, begitu pesta usai, malamnya pengantin pria langsung memboyong istrinya ke rumahnya.
"Sedih kalilah orangtua si perempuan, malam itu juga anak perempuannya diboyong ke rumah suaminya. Langsung terasa melompong rumah itu," kata Yunus.