Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Belum lama berselang bangsa kita menyelesaikan Pemilu 2019. Dalam waktu dekat juga akan ada rangkaian pelantikan MPR RI, DPR RI, DPD RI, DPRD provinsi/kabupaten dan presiden/wakil presiden. Banyak pihak yang menyatakan bahwa Pemilu 2019 adalah Pemilu paling rumit di dunia. Tidak sedikit juga orang yang menyatakan terjadi kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan massif ( TSM ). Pada Pemilu kali ini pula jatuh korban jiwa yang sangat banyak dari pihak penyelenggara Pemilu.
Meskipun demikian, Pemilu 2019 telah selesai dengan seluruh hasilnya. Meskipun terbilang sukses, banyak hal yang masih harus diperbaiki di masa depan. Penyelenggara Pemilu yang berintegritas, berkualitas, mandiri, dan independen sebagai syarat utama Pemilu yang berkualitas. Demikian juga kepada peserta Pemilu harus berkomitmen mendukung Pemilu yang berkualitas.
Salah satu tindakan yang paling berbahaya bagi masa depan demokrasi kita adalah transaksi uang demi suara. Kita biasa mendengarnya "money politics". Mereka yang ingin menang, atau yang takut kalah memberikan sejumlah uang kepada pemilih. Terjadi perputaran uang yang luar biasa, baik di kalangan elite politik (para calon dan tim sukses), maupun di akar rumput. Tidak sedikit juga oknum penyelenggara dan pengawas Pemilu di berbagai jenjang yang terlibat.
Kondisi tersebut sangat terbuka, bahkan sudah menjadi "rahasia umum". Kalau takut kalah, silahkan bayar per suara. Para tim sukses seperti menjadi petugas pencacah penduduk. Banyak orang lebih percaya kalau diserahkan foto copy kartu tanda penduduk, maupun kartu keluarga. Ada juga tim yang mensyaratkan ada nomor telepon seluler calon pemilih. Kebanyakan calon pemilih lebih tertarik dengan uang cash daripada souvenir, meskipun harga souvenirnya lebih mahal.
Setelah Pemilu selesai, banyak pihak yang mengeluh karena kalah dalam pasar barbar. Perolehan suara tidak sebanding dengan jumlah amplop yang disebar. "Rakyat tidak dapat dipercaya, mereka penghianat"! Seperti itulah umpatan mereka yang merasa ditipu oleh para penggalang suara. Tidak sedikit juga yang akhirnya mengejar para penggalang suara, bahkan ada yang saling melaporkan kepada penegak hukum.
Jika Pemilu diselenggarakan dengan cara seperti itu, lalu bagaimana dengan hasilnya? Bukankah transaksi suara dengan uang merupakan tindak pidana Pemilu? Bagaimana kita berharap banyak kepada orang- orang yang terpilih karena "money politics"? Kita akan menyaksikan dan merasakannya sebentar lagi. Tidak butuh waktu lama untuk menguji mereka yang terpilih karena politik uang.
Apa yang akan terjadi kemudian? Kita masih akan menyaksikan drama serial rompi orange, tangan diborgol yang keluar masuk gedung merah putih kuningan. Kita akan disuguhi tontonan seperti lagu "wakil rakyat" nya Iwan Fals. Hasilnya akan jauh lebih buruk dari sebelumnya. Panggung politik akan semakin garing, jauh dari harapan rakyat. Kita akan menyaksikan ada wakil rakyat yang tidak pernah sekalipun berbicara tentang rakyat.
Ruang- ruang rapat alat kelengkapan pun ruang sidang paripurna akan diisi pembicaraan tentang kulit, kemasan, dan permukaan persoalan rakyat. Pembahasan yang mendalam, terkait isi, inti dari persoalan rakyat ibarat pungguk merindukan bulan. Mengapa demikian? Karena mereka jauh dari layak, tidak memiliki kecakapan, dan kualitas. Tidak mungkin orang yang memiliki kualitas memilih "politik uang" demi meraup suara. Orang yang berkualitas akan menjual "kualitas diri", dan "harga diri" bukan menjual "harta diri". Menjual ide, gagasan, dan kemampuan mengelola jabatan publik, bukan sekedar menjual pesona, tampang.
Pemilu diselenggarakan untuk mencari pejabat publik yang memiliki integritas dan berkualitas. Memiliki kecakapan, kemampuan untuk mengelola pemerintahan. Maka setiap orang yang meminta untuk dipilih dengan menawarkan hadiah atau janji berupa uang harus ditolak. Mereka tidak boleh diberi kesempatan untuk menjadi pejabat publik. Bahkan mereka harus dipermalukan, dan wajahnya harus disebar secara terbuka sebagai perusak demokrasi.
Tidak akan mungkin kita mendapati pejabat publik yang berkualitas dari sebuah proses curang dengan politik uang. Maka menjadi sangat penting kita membangun kesadaran kolektif dan komitmen untuk menolak politik uang dalam Pilkada serentak Tahun 2020. Kita harus mendorong seleksi terbuka, bahkan dapat dilakukan konvensi dalam mencari calon kepala daerah. Konvensi akan mengurangi risiko politik uang. Konvensi akan memberi kesempatan kepada orang- orang berkualitas untuk tampil sebagai calon kepala daerah. Politik tanpa mahar hanya dapat diwujudkan dalam sistem yang terbuka, dimana publik diberi akses dan kesempatan terhadap bakal calon sebelum ditetapkan sebagai calon.
Saatnya mengakhiri derita panjang bangsa ini melalui penolakan terhadap politik uang. Kita meminta partai politik juga berkomitmen untuk tidak membebani para calon dengan "uang operasional", atau "uang saksi". Partai politik harus memelopori gerakan "tolak politik uang" demi Pilkada yang berlkualitas. Memberi kesempatan terbuka, kepada para kader partai, pun orang- orang yang sejalan dengan idiologi, visi, misi, dan program perjuangan partai niscaya kita mendapatkan calon yang berkualitas. Akhirnya kita semua akan berperang melawan para mafia politik, para petarung yang hanya mampu mengandalkan uang. Jika kita kuat, maka masa depan bangsa ini akan lebih baik pasca Pilkada serentak Tahun 2020. Politik uang adalah musuh bersama kita, musuh besar peradaban politik kita.
*Penulis adalah Ketua Komisi D/Wakil Ketua Fraksi PDI Perjuangan DPRD Provinsi Sumatera Utara.