Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com - Jakarta - Gubernur Bank Indonesia (BI) periode 2013-2018 Agus Martowardojo menceritakan krisis moneter (krismon) 1997-1998 merupakan kondisi yang terberat untuk Indonesia. Hal tersebut terlihat dari banyaknya bank-bank yang berjatuhan atau bangkrut.
Ini ia ceritakan saat peluncuran biografinya yang berjudul Agus Martowardojo Pembawa Perubahan. Dia menambahkan saat itu pemerintah bahkan sampai mengeluarkan keputusan Presiden untuk menjamin semua dana pihak ketiga (DPK) yang ada di perbankan.
"Jadi memang dibutuhkan komitmen untuk menjaga perekonomian, jangan sampai Indonesia mengalami krisis lagi. Krisis 1997-1998 itu sangat berat, bahkan sampai ada Keppres untuk semua DPK di perbankan, semua perbankan yang ngutang ke pihak ketiga dijamin negara," kenang Agus di Gedung BI, Jakarta, Senin (9/2/2019).
Dia menambahkan, saat krisis ia ditunjuk untuk menjalankan Bank Mandiri yang merupakan gabungan dari empat bank BUMN yakni Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo), Bank Bumi Daya (BBD), Bank Dagang Negara (BDN) dan Bank Exim.
Agus menceritakan saat penggabungan, Bank Mandiri memiliki rasio kredit bermasalah sekitar 60%. "Seharusnya NPL di atas 5% itu sudah sangat besar. Maka kita lakukan restrukturisasi, rasionalisasi dan rekapitalisasi. Ini disebut membutuhkan waktu 4 tahun untuk proses penggabungan bank besar ini, kami diminta supaya lebih cepat jadi 2 tahun. Namun kami bisa selesaikan 7 bulan," kata dia.
Kemudian, setelah kondisi tersebut diselesaikan akhirnya Bank Mandiri mendapatkan suntikan modal dari pemerintah dengan persetujuan DPR sebesar Rp 175 triliun. "Kalau sekarang mungkin Rp 175 triliun itu hampir Rp 1.750 triliun," ujar Agus.
Setelah dana tersebut disuntik, pada Desember tahun 1999 Bank Mandiri berganti pimpinan akibat perubahan politik. Lalu 2 tahun kemudian, Agus mengundurkan diri dari Bank Mandiri dan masuk ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Selanjutnya Agus diberikan Mandat untuk mengelola PT Bank Permata Tbk yang merupakan gabungan dari 5 bank swasta yakni Bank Bali, Bank Universal, Bank Prima Ekspres, Bank Media dan Bank Patriot.
Di Bank Permata, Agus lagi-lagi harus membenahi kondisi keuangan. Saat itu di Bank Permata rasio kredit bermasalah mencapai 25% dan profitnya turun menjadi hanya Rp 600 miliar dari sekitar Rp 4 triliun.
"Dalam laporan bank NPL Bank Permata 25%, tapi BI dalam laporannya menyebut 27%, secara neto 10%. Kami berupaya untuk melakukan perbaikan, dan menjadikan Bank Permata lebih kuat," imbuh dia.
Agus lahir di Amsterdam, Belanda, 24 Januari 1956. Agus menempuh pendidikan di Jakarta sekolah dasar di Budi Waluyo, SMP dan SMA di Pangudi Luhur dan kuliah di Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia (UI).
Ia berhasil meraih gelar sarjana ekonomi pada usia 28 tahun. Dalam pendidikan ini, Agus juga meneruskan kuliahnya bidang perbankan di State University of New York dan Stanford University di Amerika, lantas melanjutkan ke Institute Banking & Finance di Singapura.
Agus memulai kariernya pada usia 28 tahun di perbankan sebagai Officer Development Program (ODP) di Bank of America, sebagai International Loan Office.
Kariernya terus menanjak, pada akhirnya Agus berkerja di Bank Niaga sebagai Vice President, Corporate Banking Group di Surabaya dan Jakarta.
Pada tahun 1994, ia menjadi Deputy Chief Executive Officer Maharani Holding. Setelah itu ia kembali ke dunia bank menjabat sebagai Direktur Utama Bank Bumiputera.
Ia berpindah lagi, kali ini ke bank plat merah. Dia didaulat sebagai Direktur Bank Mandiri pada usia 54 tahun dan menjabat dari tahun 2005 hingga tahun 2010.
Setelah tidak menjabat sebagai direktur utama Bank Mandiri, pada tahun 2010, ia diangkat menjadi menteri keuangan menggantikan Sri Mulyani Indrawati. Pada Maret Tahun 2013, Agus Dermawan Wintarto Martowardojo terpilih menjadi Gubernur Bank Indonesia untuk periode 2013-2018.
Dalam Biografi Agus, diceritakan oleh kepala editor Hermien Y Kelden, untuk menyelesaikan buku, dirinya bisa berdebat dengan Agus hingga 78 jam hanya untuk menentukan kata 'sunyi' Tak hanya itu, bahkan ia harus meluangkan waktu hingga 48 jam saat menentukan penggunaan kata 'nah' dan 'toh.'
"Kami berdebat hingga 78 jam hanya untuk menentukan kata sunyi dalam sebuah judul. Saya ditelpon beliau jam 9 pagi sampai beberapa jam hanya untuk menentukan suatu kata dalam sebuah judul," ujar Hermin.
Dia mengungkapkan, Agus merupakan sosok yang sangat teliti dan detail. Setiap kata dalam tulisan di buku tersebut diresapinya dengan sangat serius.
"Pak Agus ini, setiap orang yang pernah bekerja sama dengan Pak Agus pasti tahu. Beliau ini orang yang bekerja paling keras dengan tingkat akurasi yang sangat menakutkan," jelasnya.
dtc