Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. RUU Pertanahan yang saat ini tengah digedok dan direncanakan akan disahkan pada 24 September 2019 mendatang, terus mendapat sorotan dari masyarakat. Berbagai elemen masyarakat menganggap RUU Pertanahan itu tidak berpihak kepada rakyat.
RUU itu lebih memberikan kewenangan kepada korporat dan pemilik modal. Demikian point yang terungkap dalam diskusi dengan tema "Menelisik RUU Pertanahan, Tanah untuk Siapa". Diskusi diselenggarakan oleh DPC Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Medan di Sajjana Coffee, Medan, Sabtu (14/9/2019) lalu.
Dalam keterangan tertulisnya, Ketua DPC GMNI Medan, Samuel Oktavianus Gurusinga, kepada medanbisnisdaily.com, Selasa (17/9/2019) menyebutkan, dialog menghadirkan 4 pemantik diskusi. Antara lain, Maman Silaban (Praktisi Pertanian), Manaek Hutabarat (aktivis Land Reform), Wawan Setiawan (SPI Sumut) dan Maruli Purba (aktivis PHBI).
Dalam paparannya, Maman Silaban, menyampaikan, RUU Pertanahan yang saat ini sedang diajukan oleh DPR dalam prolegnas prioritas dinilai terlalu prematur untuk diketok.
"Kita dapat melihat pada pasal-pasal yang dimuat di dalam RUU Pertanahan yang mana belum mencerminkan seutuhnya substansi dari UUPA NO.5 tahun 1960. Kita ambil saja contoh pada pasal 26 ayat 1,2 dan 4 mengenai HGU. Dimana semua pasal tersebut melanggengkan korporasi perkebunan dalam mengeksploitasi tanah di Indonesia," kata mantan ketua DPC GMNI Medan ini.
Total HGU, sambung Maman, bisa dimiliki oleh korporasi selama 90 tahun. Padahal berdasarkan data FAO, setiap tahunnya hutan Indonesia berkurang sebesar 684.000 ha.
Sekadar untuk mengingatkan, lanjut Maman, luas lahan perkebunan (sawit) di Indonesia itu 12,21 juta ha. Sekitar 7,,88 juta ha dikuasai oleh swasta. Sedangkan jumlah luas lahan sawah yang tersedia di Indonesia sebesar 8,19 juta ha, berdasarkan data dari Dirjen Perkebunan Kementan 2019. Coba dibayangkan jikalau 90 tahun HGU diberikan tanpa batasan luas yang jelas. Ditambah lagi, sektor yang paling banyak menyumbang terjadinya konflik agraria yaitu sektor perkebunan.
"Kita harus ingat, konflik agraria sebagian besar dipicu oleh kebijakan pejabat publik yang berdampak luas pada dimensi sosial, ekonomi dan politik di masyarakat. Oleh karena itu, DPR sebagai pejabat publik diharapkan memperhatikan ketiga dimensi itu ketika hendak merumuskan suatu produk undang-undang agar tidak menambah daftar panjang kasus konflik agraria di tanah air," kata Maman.
Sementara pemantik diskusi lainnya, Wawan Setiawan menambahkan, poin-poin pada RUU Pertanahan yang digulirkan saat ini terkesan tergesa-gesa.
Senada dengan Wawan, aktivis PBHI Sumut, Maruli Purba menyebutkan, RUU Pertanahan ini belum memberikan kepastian hukum yang memihak kepada petani kecil atau rakyat kecil.
Sejalan dengan ketiga pemantik diskusi sebelumnya, Marnaek Hutabarat menyebutkan, RUU Pertanahan ini tidak menjawab kebutuhan dari penyelesaian kasus-kasus tanah dan menguntungkan korporasi besar.
Dia juga menyebutkan bahwasanya luas konsesi dalam HGU juga sangat menguntungkan para pemilik modal besar.
Samuel Gurusinga menekankan seharusnya pengelolaan tanah diberikan seluas-luasnya untuk kepentingan rakyat bukan untuk tuan tanah ataupun mafia tanah.
"Negara harus hadir untuk bisa menyelesaikan permasalahan ini. Mari kita kawal permasalahan ini apa lagi sedang marak-maraknya perampasan tanah rakyat oleh korporasi-korporasi yang hanya menguntungkan kelompok tertentu," tanda Samuel.