Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Judul yang saya tulis di atas pasti sudah akrab di telinga kita. Bahkan mungkin terdengar sangat galib atau begitu stereotip. Saya bukan hendak menjadi pakar kesehatan atau keuangan karena memang dua hal ini bukan disiplin ilmu yang saya geluti. Namun rasa-rasanya tidak harus menjadi dokter untuk memiliki legalitas mengatakan bahwa kesehatan itu mahal. Dan, tak perlu mesti menyandang gelar akademis di bidang ekonomi untuk bisa berujar “asuransi itu penting!” Tapi memang kita suka sepele dan menafikan kedua hal mendasar ini saban hari. Belakangan, saya memang termasuk orang yang suka abai pada poin pertama. Untungnya saya tidak mengacuhkan bagian kedua.
Baiklah, saya akan berbagi pengalaman yang saya alami dan semoga mendatangkan manfaat bagi pembaca. Orang-orang di sekitar saya—keluarga, tetangga, dan rekan-rekan sejawat—sering memberi label workaholic pada saya. Memang dari pagi hingga siang saya mengajar di sekolah. Sore ke malam saya lanjut mengabdikan ilmu sebagai dosen di sebuah perguruan tinggi. Di sela-sela waktu senggang terutama di akhir pekan, saya sempatkan diri menyalurkan hobi saya: membaca buku atau novel dan tentu saja menulis opini untuk dikirimkan ke media. Rutinitas ini begitu mengasyikan bagi saya hingga waktu istirahat sedikit terganggu dan olahraga pun nyaris tak pernah lagi dilakukan.
Di usia saya yang masih sangat produktif, saya benar-benar getol bekerja sampai mengesampingkan persoalan kesehatan. Selama umur saya hidup di dunia, belum pernah sekali pun saya mengalami sakit yang mengharuskan untuk dirawat inap. Apalagi dulunya ketika masih berusia 20-an, saya termasuk orang yang rajin berolahraga seperti renang, lari sore hingga menjadi anggota pusat kebugaran (gym). Tapi lima tahun belakangan saya benar-benar disibukkan pada urusan kerja. Olahraga tidak lagi masuk dalam list of priorities saya.
Kondisi fisik tak bisa kita ajak kompromi ataupun bernegosiasi. Ketika tubuh sudah memberi sinyal bahwa kita sakit, kita tidak bisa tunda apalagi tolak. Akhirnya saya benar-benar sakit dan harus opname untuk yang pertama kalinya beberapa waktu lalu. Aktifitas saya terganggu, keluarga direpotkan dan urusan kerja juga molor.
Saya bukan hendak curhat masalah pribadi. Saya juga bukan memberi testimoni atas perusahaan asuransi di mana saya terdaftar sebagai nasabah. Tapi saya ingin mencoba memberi gambaran nyata atas manfaat memiliki asuransi karena semakin kita tua, kita akan semakin rentan terkena penyakit. Saya masuk asuransi sejak 8 tahun silam. Tujuan saya hanya sekedar berjaga-jaga : punya investasi kecil-kecilan dan mendapatkan manfaat dari asuransi kesehatan saat terjadi risiko yang tak diinginkan seperti sakit, cacat total hingga meninggal dunia. Semuanya demi keluarga yang saya cintai.
Selama 8 tahun menjadi nasabah, tak pernah sedikit pun saya berkeinginan memakai fasilitas kesehatan karena saya memang tak mau sakit. Dan terus terang saya tidak nyaman dengan jarum suntik dan jarum infus setelah beberapa kali menjenguk saudara atau teman yang harus meringis kesakitan disuntik. Tapi seperti yang saya paparkan sebelumnya, tubuh kita tak bisa diajak tawar-menawar. Untunglah meski sakit, biaya pengobatan saya di-cover oleh perusahaan asuransi. Dengan asuransi, yang tadinya saya harus membayar hingga Rp 8 juta lebih, saya hanya harus mengeluarkan biaya sebesar Rp. 200.000-an sebagai selisih harga karena saya meminta kamar yang kelasnya di atas yang ditetapkan dalam perjanjian pada polis asuransi. Semuanya demi kenyamanan selama dirawat.
Berasuransilah selagi kondisi keuangan memungkinkan. Ketika saya menceritakan masalah ini pada teman-teman saya, ada yang mengamini pentingnya asuransi. Tapi, ada juga yang berkata, “sakit itu urusan yang kuasa!” “Masuk asuransi hanya buang-buang duit, karena biasanya tidak sesuai yang dijanjikan!” demikian argumen salah seorang rekan. Apa yang ia bilang memang tak salah dan saya juga tak menampik pernyataan itu.
Akan tetapi bila kita sakit atau bahkan meninggal dunia, keluarga adalah pihak yang paling utama menanggung beban yang kita tinggalkan terlebih bila kita adalah pencari nafkah utama. Selain kesedihan yang mendalam, keluarga kita jugalah yang akan merasakan sulitnya kehidupan karena ketimpangan perekonomian keluarga. Dengan asuransi kita meminimalisir sekaligus memindahkan resiko tadi kepada perusahaan asuransi. Sekali lagi saya bukan agen perusahaan asuransi atau hendak mempromosikan perusahaan asuransi tertentu. Pembaca bisa memilih dan mempelajari unsur-unsur perjanjian sebelum memilih jenis asuransi mana yang hendak diikuti.
Dilansir dari laman sooperboy.com, pesepakbola tenar saja bahkan mengasuransikan kaki mereka. Bintang Barcelona, Lionel Messi mengasuransikan kakinya senilai Rp 8,4 triliun per tahun. Mantan bintang Real Madrid yang kini bermain di Juventus, Cristiano Ronaldo mengasuransikan kakinya sebesar Rp 1,2 triliun per tahun. Sementara bintang asal Brazil, Neymar, kedua kakinya diasuransikan senilai Rp. 174 miliar per tahun. Mereka hanya sedikit contoh publik figur yang memahami betapa vitalnya peran asuransi.
Kaki adalah aset utama mereka untuk bisa berkiprah di dunia sepak bola sebagai pemain dan menghasilkan pundi-pundi kekayaan. Tapi sepakbola juga penuh resiko. Tak jarang pemain harus absen atau pensiun dini karena mengalami cedera yang parah dalam pertandingan atau pada sesi latihan. Dengan asuransi mereka mengantisipasi dan memperkecil beban finansial yang harus ditanggung tatkala karir sepakbola mereka harus kandas lantaran cedera.
Jika mereka saja yang sudah begitu makmur dan kaya raya hidupnya sadar betul akan pentingnya memiliki asuransi, kenapa kita tidak?
*Penulis adalah kolumnis lepas, guru SMP/SMA Sutomo 2 Medan dan dosen PTS.
===
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya . Tulisan hendaknya orisinal, belum pernah dimuat dan tidak akan dimuat di media lain, disertai dengan identitas atau biodata diri singkat (dalam satu-dua kalimat untuk dicantumkan ketika tulisan tersebut dimuat). Panjang tulisan 4.000-5.000 karakter. Kirimkan tulisan dan foto (minimal 700 px) Anda ke [email protected].