Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Permasalahan tanah adalah persoalan yang sangat berat sekaligus rawan di Indonesia. Kondisi ini tercermin dari sangat timpangnya struktur kepemilikan dan penguasaan tanah, serta maraknya sengketa/konflik tanah yang terjadi di berbagai daerah. Persoalan pertanahan dan pembaruan agraria sangatlah penting sekaligus strategis, mengingat paling tidak dua hal.
Pertama, tanah merupakan hajat hidup orang banyak dan merupakan alat produksi untuk menopang kehidupan, terutama mereka yang menggantungkan hidupnya pada tanah secara langsung. Kedua, tanah sebagai lambang kedaulatan dan hegemoni sebuah negara dan bangsa. Ketimpangan dan sengketa tanah pada dasarnya bisa ditelusuri sejak zaman feodal, kemudian berlanjut pada zaman kolonial hingga masa orde lama, orde baru dan saat ini.
Kolaborasi Feodalisme-Kolonialisme
Dalam struktur masyarakat feodal, kepemilikan dan penguasaan tanah secara de jure berada di tangan raja dan para elite di bawahnya. Sementara secara de facto rakyat dan kaum tani yang memiliki peran utama dalam mengolah atau menggarap tanah dan menghasilkan surplus dari usahanya itu hanya dapat menikmati sisa surplus hasil bumi sebesar kebutuhan konsumsi mereka saja.
Menguatnya pengaruh kolonialisme lewat VOC yang mengintrodusir sistem kapitalisme menjadikan kondisi kehidupan dan beban kaum tani menjadi semakin berat. Penyebabnya adalah sistem penguasaan tanah dalam feodalisme yang sudah terbukti menyengsarakan dimanfaatkan secara maksimal oleh pihak kolonial untuk menghisap surplus hasil bumi petani, serta meluruskan jalan dalam proses eksploitasi atas tanah (agraria) dan kaum tani yang menggarapnya.
Praktek komunalisasi tanah untuk tujuan eksploitasi dan komersialisasi tanah menjadikan para pemilik modal sebagai penguasa dalam pengelolaan lahan dan menjadikan mayoritas orang Indonesia sebagai buruh dalam perkebunan-perkebunan yang bermunculan pada zaman ini.
Munculnya aturan klaim tanah negara atau domein verklaring dengan peregistrasian tanah oleh negara yang memberikan hak erpacht atau penyewaan kepada para pemodal untuk mendirikan perusahaan dan perkebunan, berakibat pada semakin kecilnya akses rakyat terhadap tanah. Sementara, di lain pihak akses koorporasi terbuka sangat lebar.
Reforma Agraria Amanat Kemerdekaan
Setelah kemerdekaan, Pemerintah Indonesia membentuk beberapa panitia agraria pada 1948, 1951, 1956 hingga 1960, yang melahirkan beberapa peraturan pokok atau Undang – Undang Pokok Agraria ( UUPA ), yang sesuai dengan kedudukan, kedaulatan bangsa dan negara Indonesia. Peraturan-peraturan pertanahan produk kolonialisme yang tidak sesuai dengan semangat dan cita-cita kemerdekaan dicabut.
Tujuan utama dari UUPA adalah upaya meletakkan dasar-dasar penyusunan hukum agraria dengan prinsip- prinsip keadilan sosial sebagaimana m6aksud dalam UUD 1945 Pasal 33 Ayat 3 yang berbunyi “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan di pergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat “ dan sesuai dengan semangat ingin membangun sebuah masyarakat yang bebas dari “ l’exploitation de l’homme pa l’homme ”, yaitu bebas dari pemerasan manusia oleh manusia.
Land reform (reforma agraria) dengan pengertian sederhana adalah perubahan dasar struktur pertanahan. Sedangkan pengertian land reform dalam UU No 5/1960 dan UU Prp tahun 1960 adalah suatu program tindakan yang saling berhubungan untuk menghilangkan penghalang-penghalang di bidang ekonomi, sosial yang timbul dari kekurangan-kekurangan yang terdapat dalam struktur pertanahan.
Pelaksanaan ini akhirnya terhenti setelah kejatuhan Pemerintahan Presiden Soekarno dan naiknya periode yang sering disebut dengan orde baru di bawah pemerintahan Jendral TNI Soeharto, yang menjadikan komunisme sebagai musuh besar bangsa Indonesia. Dengan pelarangan dan pembubaran segala aktivitas yang berbau komunisme, termasuk menimbulkan persepsi bahwa UUPA No 5/1960 adalah produk dari komunisme, sehingga upaya pelaksanaan re-distributive lahan terhenti.
Investasi sebagai Strategi Developmentalisme Orba
Strategi pembangunan orde baru sangat dilandasi paham developmentalisme, dengan asumsi bahwa kesejahteraan ekonomi hanya bisa dicapai melalui proses modernisasi dan industrialisasi padat modal. Semua sumberdaya yang bernilai ekonomis-dapat menghasilkan keuntungan material-seperti tanah dan sumber-sumber agraria lainnya harus dikomoditisasi dan dikomersialisasikan.
Pola pembangunan yang sangat tergantung pada investasi dalam maupun luar negeri, dengan mengandalkan kertersediaan sumberdaya alam maupun manusia untuk dieksploitasi secara besar-besaran menjadi syarat mutlak untuk menjamin tetap berjalannya proses akumulasi modal dan tercapainya pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
Sementara masuknya investasi membutuhkan syarat mutlak berupa kebijakan yang berorientasi pada pengelolaan sumber daya alam ke tangan Penanaman Modal Asing ( PMA ) dan Penanaman Modal Dalam Negeri ( PMDN ) yang berlanjut pada program privatisasi atau swastanisasi BUMN dan lahirnya berbagai aturan tentang hak, seperti Hak Guna Usaha ( HGU ), Hak Penguasaan Hutan Tanaman Industri, Hak Guna Bangun ( HGB ) dan aturan – aturan lainnya yang bertentangan dengan semangat UUPA no 5 Thn 1960,
Pada akhirnya ketimpangan penguasaan tanah ini mewariskan sekian banyak persoalan sosial, ekonomi, dan politik yang berat, dan sudah sangat kronis. Seperti masalah ketimpangan dan sengketa tanah yang berkepanjangan, kemiskinan yang merajalela dan secara umum melahirkan susunan masyarakat yang penuh dengan l’exploitation de l’homme par l’homme hingga saat ini.
Reforma Agraria Tanggung Jawab Negara
Penuntasan agenda reforma agraria sejati sesungguhnya adalah fondasi utama dalam strategi pembangunan nasional. Untuk mengatasi ketimpangan penguasaan tanah dan sumber daya alam sebagai salah satu akar kemiskinan, maka pemenuhan kebutuhan pangan dan kesejahteraan rakyat, sudah semestinya periode Pemerintahan Presiden Joko Widodo 2019 - 2024 menjadi babak pembuktian amanat penuntasan reforma agraria yang tertuang dalam konstitusi.
Karena pada tataran struktur pemerintahan, kita menyaksikan terjadinya ketidaksinkronan antara UUD 1945, UU PA No 5 Tahun 1960 dengan kemunculan RUU Pertanahan, RUU SBPB (Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan) dan lembaga pemerintah yang mengurus persoalan yang terkait agraria, seperti pertanahan, pertanian, perkebunan, kehutanan, pertambangan, lingkungan, pesisir dan laut, dan lain-lain.
*Penulis Direktur Eksekutif Perhimpunan Suluh Muda Indonesia (SMI)/penggiat HAM dan Demokrasi
===
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya . Tulisan hendaknya orisinal, belum pernah dimuat dan tidak akan dimuat di media lain, disertai dengan identitas atau biodata diri singkat (dalam satu-dua kalimat untuk dicantumkan ketika tulisan tersebut dimuat). Panjang tulisan 4.000-5.000 karakter. Kirimkan tulisan dan foto (minimal 700 px) Anda ke [email protected].