Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Sejak selepas subuh yang dingin, petani karet di Kecamatan Ujung Batu Kabupaten Padang Lawas Utara (Paluta) sudah menyadap getah. Tapi, eh, harga karet kini turun menjadi Rp 6.500-Rp 7.500/kg dari semula Rp 7.500-Rp 8.000-an/kg. Padahal, hanya jika harganya di atas Rp 10.000/kg, barulah mereka bisa bernafas lega.
Ali Mikron (29 tahun), salah seorang petani karet di Desa Huta Raja, Sabtu (2/11/2019) kepada pers merasa dirundung kekecewaan. Pasalnya, sudah sepekan ini harga getah karet anjlok. Bahkan, kemungkinan besar harga akan kembali mengalami penurunan.
Kehidupan pun terasa pahit. Maklum, harga-harga kebutuhan pokok pun terus melambung. Belum lagi biaya pendidikan anak sekolah.
Ternyata pembatasan ekspor karet melalui Agreed Export Tonnage Scheme (AETS) sejak Desember 2017, tidak berdampak kepada kehidupan petani. AETS tersebut telah diimplementasikan oleh Indonesia, Malaysia, dan Thailand sebagai produsen karet terbesar yang tergabung dalam International Tripartite Rubber Council (ITRC).
Perang dagang antara Cina dan Amerika Serikat juga mempengaruhi. Kedua negara itu adalah konsumen karet Indonesia terbesar. Namun Cina juga punya lahan karet. Nah, bila produksi ban mereka – nomor dua di dunia – berkurang karena permintaan melemah, mereka membatasi impor karet dari Thailand, Malaysia dan Indonesia. Tak ayal, harga karet pun anjlok.
Di beberapa daerah seperti di Sumatra Selatan, Jambi dan Sumatra Utara, para petani malas menyadap getah. Tak heran jika pasokan ke pabrik karet pun berkurang sehinggga mengancam pabrik karet akan tutup.
Secara teori, Indonesia harus melepaskan diri dari ketergantungan kepada perekonomian global. Yakni, dengan kebijakan hilirisasi atau industri pengolahan karet di dalam negeri. Dengan begitu, petani menjadi pemasok pabrikan domestik, dan bukan sekadar pemasok komoditas mentah untuk ekspor.
Saat ini produksi karet Indonesia yang mencapai 3 juta ton setahun, ternyata 80% dialokasikan untuk ekspor. Hanya 20% untuk kebutuhan domestik.
Tapi, bagaimana mau hilirisasi jika pasokan karet rakyat pun semakin anjlok. Saya kira ini tantangan bagi Menteri Pertanian, Menteri Perindustrian dan Menteri Perdagangan yang baru dilantik Presiden Jokowi untuk mencari solusi. Kasihan, petani karet di Paluta – dan daerah lainnya -- dirundung kecewa.