Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
“Engkau tahu enggak ada sesuatu yang baru dalam jagat politik kita?” ujar Bargot kepada rekannya Porjan di suatu taman di kota ini. “Tidak. Apa sih?” tanya Porjan.
“Telah muncul postkoalisi,” kata Bargot. Bargot melihat bahwa postkoalisi itu muncul ketika Ketua Umum NasDem Surya Paloh dan Ketua Umum PKS Sohibul Iman mendeklarasikan kesepahaman pada 30 Oktober lalu di Kantor DPP PKS di Jalan TB Simatupang, Jakarta.
Kedua partai yang berseberangan dalam Pemilu dan Pilpres 2019 tersebut saling menghormati pilihan politik masing-masing untuk memperkuat fungsi pengawasan di DPR dan memperkuat demokrasi.
Kedua partai akan berjuang bersama menjaga demokrasi agar tetap sehat dengan memperkuat fungsi checks and balances di DPR.
Memang, demokrasi yang sehat adalah demokrasi yang tetap membutuhkan checks and balances. Bukan monolit seperti di negara-negara diktator.
Paloh mengatakan, pemerintah yang sehat menerima pikiran kritis. Jika tidak ada pemikiran tersebut, pemerintah tersebut tidak sehat. Tentu saja dilandasi niat baik, yakni kritik yang tidak menjatuhkan tapi dengan semangat membangun Indonesia.
Paloh kembali mengungkap soal tersebut saat pembukaan Kongres II Partai NasDem di JI Expo, Kemayoran Jakarta, Jumat (8/11) lalu.
“Saya kira Paloh benar. Pemerintah memerlukan kritik, bahkan meski datang dari partai koalisi yang mendukungnya,” kata Bargot. “Wah, apakah berarti NasDem telah bergeser menjadi oposisi?” sela Porjan.
“Tidak. NasDem tetap dalam koalisi dan mendukung pemerintahan. Namun meningkat menjadi postkoalisi dengan memberi masukan (kritik) yang positif bagi pemerintahan,” kata Bargot.
“Maksud Anda tidak bersikap ABS (asal bapak senangg) ya. Tapi menjadi mitra yang menjaga pemerintahan tetap dalam koridor mengutamakan kesejahteran umum,” tanggap Porjan yang mulai paham persoalan.
“Persis. Postkoalisi itu ibarat pascasarjana. Meski dia sudah S2 atau S3, tapi tetap mencantumkan gelar S1-nya,” kata Bargot. “Saya paham. Tapi setelah menjadi S2 atau S2, pemikirannya lebih matang dan lebih filosofis dibanding S1,” kata Porjan.
“Ada contoh lain. Seorang yang beretnik Batak atau Jawa itu adalah seorang Indonesia. Tapi walau dia seorang Indonesia dia tetap beretnik Batak atau Jawa,” urai Bargot. Kira-kira ada PostBatak dan PostJawa.
Lagipula, Jokowi dan Ma’ruf Amin pun telah beralih menjadi PostCapres dan PostCawapres dari semula Capres dan Cawapres. Orientasinya tak lagi hanya untuk massa pendukungnya tapi untuk segenap rakyat Indonesia.
Jika disimpulkan, PostKoalisi bukan berarti koalisi pendukung pemerintahan pecah. Tapi adalah munculnya fenomena atau paradigma baru, cara berpikir yang baru dalam melihat demokrasi.