Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Bayang bayang resesi terus menghantui ekonomi nasional belakangan ini. Resesi yang tergambar dalam benak kita adalah adanya gangguan ekonomi yang berpotensi menyulut masalah sosial, seperti yang terjadi di tahun 1998, 2008 maupun yang diperkirakan akan terjadi di tahun depan. Resesi seakan terus menjadi hantu yang menakutkan, dikarenakan dampak kerusakan yang ditimbulkan memberikan multiplier efek bagi semua sektor kehidupan.
Tetapi, melihat fenomena terjadinya krisis yang terus berulang seakan mengisahkan bahwa kondisi ekonomi buruk yang menakutkan akan terus terjadi dan berulang di masa yang akan datang. Dan tidak sedikit dari kita yang mengkuatirkan akan adanya serial lanjutan dari masalah ekonomi yang bisa merembet kemasalah lain kehidupan.
Siklus ekonomi memang selalu mengalami pasang surut, layaknya roda kehidupan manusia yang kerap mengalami naik turun. Dalam kehidupan didunia ini, semuanya akan berputar dan akan terus berputar. Seperti perputaran roda kehidupan siang yang digantikan malam, miskin menjadi kaya, sehat menjadi sakit, senang menjadi susah, dan banyak perputaran lainnya termasuk yang hidup akan mati dan digantikan generasi yang baru.
Ekonomi juga tidak terlepas dari itu semua. Ekonomi juga berputar dari yang bertumbuh, mengalami titik jenuh dan pada akhirnya berbalik turun. Namun tidak akan berlangsung selamanya, karena nantinya ekonomi akan kembali bertumbuh dan melanjutkan siklus tahadapan selanjutnya, dan entah sampai kapan ekonomi akan terus seperti itu. Yang pasti sampai bumi ini tidak lagi berputar dan berhenti di suatu titik perhentian terakhir.
Tetapi, yang perlu dicatat adalah, jangan sampai resesi yang terjadi meninggalkan banyak masalah yang cenderung lebih besar dari sebelumnya. Tahun 1998 menjadi tahun yang sangat kelam bagi republik ini. Namun di tahun 2008, krisis yang terjadi tidak menggiring kita masuk dalam kerusakan yang sama. Tahun 2008 justru krisis tidak merembet ke masalah sosial, dan masyarakat bisa menjalankan aktifitas secara normal.
Saya secara pribadi melihat krisis ekonomi global sebenarnya sudah dimulai di tahun 2018 untuk memerangi ekonomi negara lain dengan kebijakan tarif. Langkah tersebut saat ini dikenal dengan istilah perang dagang. Dampak dari rencana kebijakan menaikkan tarif tersebut membuat banyak negara mengalami kesulitan ekonomi.
Negara-negara dengan kelas ekonomi yang lebih kecil dibandingkan dengan AS, seperti Turki, Venezuela, Afrika Selatan dan banyak negara berkembang lainnya terpaksa mengalami tekanan yang berujung kepada pelemahan nilai tukar mata uangnya. Pelemahan mata uang tersebut menggiring perlambatan ekonomi di negara masing masing.
Dan sejumlah negara tersebut mengalami tekanan hebat yang pada akhirnya membuat pertumbuhan ekonominya mengalami perlambatan. Buat negara besar yang ekonominya mampu mengimbangi AS, seperti Cina, mampu memberikan serangan balasan. Dengan beragam cara, mulai dengan membuat mata uang Yuan dilemahkan, serta memberikan kenaikan tariff serupa terhadap barang-barang yang datang dari negeri Paman Sam.
Perang seperti itu, bukan hanya berdampak langsung kepada mereka yang terlibat perang didalamnya (AS dan Cina). Tetapi justru negara lain juga merasakan hal yang serupa, dimana perang dagang tersebut berimbas pada negara lain yang menjadi mitra dagang negara yang tengah berperang (AS dan Cina).
Negara jiran tetangga kita, Singapura yang letaknya di sebelah Kepulauan Riau, pertumbuhan ekonominya nyaris mendekati 0% (0,1%). Negara tetangga serta sejumlah negara lain yang terdampak perang dagang mengisyaratkan bahwa Indonesia tengah di kepung oleh keterpurukan ekonomi negara lain yang bisa saja nantinya juga menghantam Indonesia.
Hongkong bahkan negara yang telah masuk dalam jurang resesi, di mana negara di Asia tersebut lagi-lagi memperburuk cara pandang negara lain dalam menatap ekonomi negaranya ke depan. Rasa takut, cemas, khawatir tengah menyelimuti para pejabat tinggi di banyak negara, tanpa terkecuali dengan Indonesia.
Rasa cemas atau takut jika dibiarkan justru akan membuat ketakutan itu sendiri benar-benar akan terjadi. Namun, jika kita bergerak serta melakukan upaya untuk menangkalnya. Bukan tidak mungkin kita bisa keluar dari ketakutan tersebut atau nantinya mampu keluar dari ancaman resesi itu sendiri. Asa harus dipupuk dan keberanian serta kerja keras dilakukan guna menghadapi resesi yang siap datang kapan saja.
Tanpa harus diberi tahu, saya sangat yakin pemerintah kita bergerak maju untuk menghadapi sejumlah tekanan ekonomi global yang kapan saja bisa singgah di Indonesia. Perang dagang membuat ekspor nasional menjadi lemah, dan menurunkan impor menjadi kebijakan penyeimbang yang rasional. Meskipun terkadang pembangunan terpaksa harus di tahan, dengan mengedepankan kebutuhan pembangunan yang lebih menguntungkan ekonomi domestik.
Belanja pemerintah harus digenjot hingga tercipta pertumbuhan yang juga menumbuhkan lapangan kerja. Mengedepankan pengeluaran terukur yang tidak membebani. Pengelolaan hutang yang hati hati, mendongkrak investasi, memangkas perizinan dan birokrasi, yang nantinya akan berujung kepada akselerasi pertumbuhan ekonomi. Atau dalam kondisi saat ini, menjaga pertumbuhan ekonomi tetap diangka 5% juga merupakan salah satu upaya yang bisa diterima.
Walau demikian, tidak jarang kebijakan menghindari kemungkinan resesi justru menyakiti atau menekan daya beli masyarakat kita. Seperti tekanan impor yang besar diakibatkan oleh impor BBM, memaksa pemerintah untuk mengurangi beban tersebut dengan cara menaikkan harga BBM atau produk lain yang berkenaan dengan BBM seperti tarif listrik.
Jika kebijakan tersebut tidak diambil, maka potensi krisis akan semakin membesar. Krisis akan terjadi lebih cepat. Dilema seperti ini nantinya akan dirasakan oleh kita semua tanpa terkecuali pihak pemerintah. Dalam konteks tersebut, kacamata ekonomi masyarakat harus dibuka. Demi menyelamatkan Indonesia dari tekanan ekonomi, maka kebijakan BBM mahal, tariff listrik mahal menjadi salah satu jalan agar kita keluar dari tekanan tersebut.
Saat ini, resesi yang muncul akan dipicu oleh memburuknya ekonomi di negara lain yang bisa berimbas pada ekonomi nasional. Dan apa yang bisa kita lakukan saat ini adalah meminimalisir dampak kerusakan yang mungkin timbul, tanpa bisa ikut campur dalam menuntaskan gejolak ekonomi eksternal itu sendiri. Kita melakukan upaya untuk kita sendiri.
Dan upaya ini harus dibantu dengan komitmen serius dari masyarakat untuk mendorong supaya kita tetap tumbuh. Sejauh ini ekonomi kita stabil di 5%-an, Rupiah masih di 14 ribuan, daya beli walaupun turun masih tetap terjaga, sejumlah pembangunan tetap berjalan. Dengan serangakian data tersebut, saya optimis kita bisa melewati resesi di tahun depan.
Terlebih jika terjadi suatu hal yang tak terduga seperti AS China berdamai, BREXIT tuntas, tidak ada masalah geopolitik lainnya. Maka kita akan lebih optimis menatap tahun depan dengan lebih percaya diri. Tetapi jangan mengharapkan hal tak terduga seperti ini. Tidak ada kata lain selain berdoa, dan bekerja keras.
===
*Gunawan Benjamin, Pengamat Ekonomi, Alumni UGM Yogyakarta, Dosen FAI Universitas Islam Sumatera Utara.
===
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya . Tulisan hendaknya orisinal, belum pernah dimuat dan tidak akan dimuat di media lain, disertai dengan identitas atau biodata diri singkat (dalam satu-dua kalimat untuk dicantumkan ketika tulisan tersebut dimuat). Panjang tulisan 4.000-5.000 karakter. Kirimkan tulisan dan foto (minimal 700 px) Anda ke [email protected].