Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Jakarta. Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian menjelaskan soal keinginannya untuk mengevaluasi pilkada langsung. Tito menyebut adanya potensi konflik hingga biaya politik yang tinggi.
"Itu belum termasuk politik biaya tinggi untuk calon kepala daerah. Ini dari empirik saja, untuk jadi kepala daerah, untuk jadi bupati kalau nggak punya Rp 30 M, nggak berani. Gubernur lebih lagi. Kalau ada yang mengatakan nggak bayar, nol persen, saya pengin ketemu orangnya," ujar Tito dalam rapat bersama Komite I DPD, kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (18/11/2019).
Tito mengatakan biaya itu digunakan untuk kebutuhan teknis dan nonteknis pilkada seperti kampanye dan biaya saksi. Tito lalu membandingkan dengan gaji yang diterima para kepala daerah.
"Sementara dilihat pemasukan dari gaji, Rp 200 juta kali 12 (bulan), Rp 2,4 (miliar), lima tahun Rp 12 M, keluar Rp 30 M. Mana mau tekor? Kalau dia mau tekor saya hormat sekali. Itu berarti betul-betul mau mengabdi buat nusa bangsa. Tapi ada 1001 mungkin ya, ada," ujar Tito.
Eks Kapolri itu mengatakan operasi tangkap tangan (OTT) kepala daerah menjadi biasa. Pasalnya, menurut dia, sudah tercipta sistem yang membuat kepala daerah berpotensi melakukan korupsi.
"Bagi saya yang mantan pimpinan penegak hukum, OTT kepala daerah bagi saya bukan sesuatu hal yang luar biasa, bukan prestasi hebat. Karena sistem politiknya membuat dia harus balik modal. Sehingga ya tinggal menggunakan teknik-teknik intelijen, teknik-teknik investigasi, menarget kepala daerah, itu sangat mudah sekali," jelas Tito.
"Jadi kita sudah menciptakan sistem yang membuat kepala daerah itu untuk korupsi. Kalau ada yang memang tidak melakukan itu, kita sangat bersyukur," imbuhnya.
Karena sejumlah dampak negatif itulah Tito ingin ada evaluasi untuk pilkada langsung. Namun, ia menegaskan evaluasi harus dilakukan dengan kejadian akademik, bukan hanya bukti empirik.
"Evaluasi ini dilakukan harus ada kajian akademik, tidak bisa dengan empirik, berdasarkan pengalaman saja. Beberapa masukan informasi dampak negatif, dampak positif. Empirik ini bisa bias, bisa menyimpang, sehingga perlu adanya kajian akademik karena memiliki metodologi yang bisa dipertanggungjawabkan dengan data, baik data kualitatif atau data kuantitatif," ungkap Tito.
Jika hasil kajian akademiknya baik, Tito menyebut mungkin saja pilkada langsung tetap dilaksanakan. Namun, menurut Tito, yang menjadi masalah adalah bagaimana mengurangi dampak negatif yang muncul.
"Kalau kajian akademiknya dengan institusi yang reliable, yang reputasinya bagus, objektif dan dikenal, why not? Mungkin saja hasilnya pilkada langsung lebih baik dilakukan. Nggak apa-apa, kita laksanakan. Kita hargai temuan itu karena manfaatnya lebih baik dari mudaratnya. Problemnya adalah bagaimana solusi how to reduce the damage, bagaimana mengurangi dampak negatifnya," tutur Tito.
"Kemudian kalau seandainya dianggap bahwa sistem pilkada langsung ini dalam temuan kajian akademik dianggap lebih banyak negatifnya, berarti harus ada sistem yang lain," pungkasnya.(dtc)