Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Presiden Jokowi telah menandatangani UU Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang UU Perkawinan. Awalnya, batasan usia perkawinan minimal adalah 19 tahun untuk laki-laki dan 16 tahun untuk perempuan. Kini, pasangan yang belum genap berumur 19 tahun tidak bisa menikah. Pengesahan undang-undang ini menjadi penting supaya selaras dengan Undang-Undang Perlindungan Anak.
Definisi anak versi Undang-Undang Perlindungan Anak adalah mereka yang berusia di bawah 18 tahun. Di sini letak salah satu masalah mendasarnya. Selama ini ketika, misalnya, seorang perempuan usia 16 tahun menikah, pernikahan itu sah menurut Undang-Undang Perkawinan tapi tidak sah menurut Undang-Undang Perlindungan Anak.
Masalah Pernikahan Dini
Badan Pusat Statistik (BPS) pernah melakukan rilis data bahwa selama tahun 2018, pernikahan dini di Indonesia mencapai 15,66% yang pada tahun 2017 masih 14,18%. Belum lama ini, masyarakat dibuat heboh dengan perkawinan dua bocah berinisial RG dan ML di Musi Banyuasin, Sumatera Selatan pada 11 Juli 2019. Mereka bahkan masih berstatus sebagai pelajar SMP. Karena alasan keduanya saling mencintai dan demi menghindari perzinahan, orang tua kedua pihak memberikan restu. Sikap ini patut disayangkan karena telah mengabaikan ancaman-ancaman yang kerap mengintai.
BACA JUGA: Menyoal Perda Kawasan Tanpa Rokok
Pertama, dari segi usia, organ reproduksi keduanya jelas belum matang. Dari faktor medis, kalau pun pada pasangan menikah muda seperti RG dan ML kehamilan sudah dapat terjadi, risiko kematian pada ibu dan bayi saat proses melahirkan bisa mencapai lima kali lebih besar. Itu pun belum termasuk pada risiko-risiko kesehatan lain, seperti kanker leher rahim, mioma, atau kanker payudara. Artinya, berdasarkan pertimbangan faktor-faktor biologis, menikah usia dini akan sangat berbahaya dan lebih merugikan kaum perempuan.
Kedua, pernikahan dini memiliki korelasi positif dengan perceraian. Mereka yang menikah pada saat usia baru mencapai belasan tahun masih dikategorikan sebagai anak-anak. Dari sisi mental, psikologis dan emosional, mereka belum benar-benar siap. Hal ini akan memicu terjadinya konflik dan praktik kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Dan yang sering menjadi korban adalah ibu dan anak.
Pasangan yang menikah di bawah umur juga kerap kali belum mandiri secara finansial sehingga masih menjadi tanggungan orang tua. Hal ini disebabkan oleh kecenderungan untuk putus sekolah pasca menikah muda. Akibatnya, karena tidak dibekali oleh keahlian dan keterampilan yang cukup untuk terjun ke dunia kerja, sang suami akan menjadi pengangguran. Dengan kondisi-kondisi seperti ini, keputusan untuk bercerai sangat mungkin untuk diambil.
Ketiga, menikahkan anak-anak di bawah umur dengan alasan supaya terhindar dari zinah justru menafikan kesakralan pernikahan itu sendiri. Pernikahan harus dimaknai sebagai wadah suci untuk mencari pasangan hidup yang tepat. Dengan demikian, sekali lagi, jika hanya karena ketakutan akan terjerumus ke dalam perbuatan zinah, sesungguhnya menikah sudah dijustifikasi dan disimplifikasi secara parsial sebatas legalisasi hubungan seks agar terhindar dari dosa.
Indeks Pembangunan Manusia
Dalam konteks yang lebih luas, pembatasan usia minimal untuk menikah niscaya akan lebih berdampak signifikan pada perbaikan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Indonesia. Pernikahan dini umumnya mempunyai interelasi dengan tingginya angka putus sekolah. Maka, implikasi dari persoalan ini akan semakin meluas. Pangkal dari pendidikan yang rendah adalah kemiskinan. Kemiskinan kemudian berkorelasi pada penurunan IPM. Muaranya adalah terjadinya perlambatan pembangunan dan semakin tingginya kasus kejahatan.
Memang IPM Indonesia mengalami tren positif. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), IPM Indonesia pada tahun 2017 sebesar 70,81% dan di tahun 2018 naik menjadi 71,39%. UNDP menetapkan bahwa Indonesia masuk kategori negara dengan IPM yang tinggi. Sebagai informasi, IPM yang lebih besar dari 80 merupakan kategori sangat tinggi, 70-79 merupakan kategori tinggi dan 60-69 merupakan kategori rendah.
Pencapaian itu, menurut Kepala BPS Suhariyanto karena adanya peningkatan di empat indikator yaitu indikator umur harapan hidup (dari 71,06 tahun menjadi 71,2 tahun), indikator harapan lama sekolah (dari 12,85 tahun menjadi 12,91 tahun), indikator rata-rata lama sekolah (dari 8,1 tahun menjadi 8,17 tahun) dan indikator tingkat standar hidup yang layak (naiknya pendapatan per kapita dari Rp.10,66 juta per tahun menjadi Rp. 11,06 juta per tahun).
Masalahnya, pada indikator harapan lama sekolah, untuk tingkat SD memang mencapai 99 persen. Artinya, hampir setiap anak di Indonesia menamatkan SD. Namun, tingkat partisipasi itu mengalami grafik penurunan yang cukup tajam ketika masuk ke jenjang SMP, SMA dan Perguruan Tinggi. Bisa jadi turunnya tingkat partisipasi sekolah itu diakibatkan oleh pernikahan dini yang masih tinggi tadi.
Penetapan batasan umur minimal menjadi 19 tahun ini patut disyukuri. Tapi, orang tua pun dituntut untuk punya kesadaran tinggi akan bahaya pernikahan anak usia dini. Pemerintah juga perlu menggandeng para tokoh agama dan ketua masyarakat adat. Ini penting agar hukum negara, agama dan adat memiliki persespi yang sama dalam memandang pernikahan. Sebab selama ini pernikahan secara hukum agama dan hukum adat sering terjadi meski tidak sah berdasarkan hukum negara. Jika tidak ada kesamaan pandangan, berapa pun batasan usia pernikahan menurut Undang-Undang Perkawinan tidak akan berarti apa-apa bila hukum agama dan hukum adat tetap memberikan kelonggaran-kelonggaran pada pernikahan di bawah umur.
===
*Kolumnis lepas, guru SMP/SMA Sutomo 2 Medan dan dosen PTS.
==
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya orisinal, belum pernah dimuat dan tidak akan dimuat di media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px) dan data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan). Panjang tulisan 4.000-5.000 karakter. Tulisan sebaiknya tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]