Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Konon, kesenian yang bernama Bangsawan ini pada masa lalu bernama Wayang Parsi. Dalam lintasan sejarahnya kedatangan rombongan seniman wayang parsi ke Pulau Penang (1870) bukanlah dari Persia (Iran), melainkan dari orang-orang Majusi yang melarikan diri ke India karena tidak mau di-Islam-kan.
Keturunan orang-orang Majusi yang banyak bermukim di Mumbay inilah yang akhirnya membawa wayang parsi ke Pulau Penang. Wayang parsi kemudian menyebar ke seluruh semenanjung Malaysia, dan juga ke kesultanan-kesultanan Melayu di Sumatra Utara, Riau, dan Kalimantan Barat.
Kemudian kesenian tradisional ini telah berubah menjadi Bangsawan (Teater Bangsawan) diperkirakan masuk Penyengat tahun 1906. Dari Pulau Penyengat akhirnya menyebar pula ke berbagai daerah di wilayah Kepulauan Riau. Walaupun demikian, kesenian ini tidak tumbuh subur di Penyengat, tetapi justru di tempat lain, seperti Daik-Lingga dan Dabo-Singkep.
Malahan, sekarang seolah-olah yang “memilikinya” adalah kedua masyarakat tersebut. Indikator ini terlihat dari setiap kali ada penampilan Bangsawan, terutama di ibukota propinsi (Tanjungpinang), kalau tidak Bangsawan dari Dabo-Singkep, adalah dari Daik-Lingga. Oleh karena itu, setiap orang jika mendengar kata Bangsawan, maka seringkali yang terbayang dalam benak kita adalah dari kedua daerah tersebut.
Seni pertunjukan tradisional ini dalam visualnya menggabungkan unsur musik, lagu, tari dan laga. Hal tersebut menjadi sebuah ciri khas dalam setiap pergelarannya. Peralatan musik sebagai mengiringi pementasannya terdiri atas ; biola, akordion, gendang, gong dan tambur. Sedangkan, perlengkapan pendukungnya lainnya menyesuaikan dengan ceritera yang ditampilkan, karena patokan yang khusus tidak ada.
Teater bangsawan adalah cikal bakal dari teater modern di Indonesia. Pada tahun 1903, Kapitan Bacik dari Kualalumpur mendirikan teater bangsawan dengan memasukkan unsur-unsur teater barat. Kelompok ini dibiayai oleh hartawan dari Cina. Sayangnya setelah dua tahun keliling di Malaysia, kelompok ini bubar. Tetapi rombongan inilah yang memberi arti penting bagi perkembangan teater bangsawan yang masuk ke Indonesia.
Sedangkan ciri-ciri khas lainnya dari teater bangsawan ini adalah; panggung berbentuk proscenium, di mana penonton hanya dapat menyaksikan dari bagian depan panggung. Pada panggung terdapat tirai yang dilukis sesuai gambaran lokasi dalam cerita.
Pergantian babak diwakili oleh gambar pada tirai, sehingga di atas panggung terkadang terdapat tiga sampai enam tirai berlapis (layar stret), scenery (layar bergambar) digantung secara khusus. Dijadikan sebagai setting (dekorasi) atau artistik. Bersifat dekoratif. Dibuat dalam format berdimensi. Ciri-ciri itu juga telah dilakukan dan dipergunakan pada pertunjukan teater barat di zaman Elizabethan.
Pertunjukan "MAKCIK RONGGENG" naskah Andy Mukly, sutradara Syahrial Felani (Mak Yal), telah menggusur beberapa ciri kekhasannya. (mengetengahkan format modern.) Dilakukan oleh kelompok Pak Pong Medan di teater tertutup Taman Budaya Sumatera utara, 17 Januari 2020 - Pukul 20.00 WIB. Teater Bangsawan terbilang 'lenyap'. ditelan oleh zamannya.
Kelompok yang dipimpin oleh Iwan Amry, tak ingin kesenian tradisional itu tergerus hingga dikatakan mati. Hal itu mereka buktikan; Bahwa kesenian itu mereka hidupkan, mereka rawat kembali diperhelatan ulang tahun ke-3 di Taman Budaya Sumatera Utara kemarin malam. Gedung yang berkapasitas 500 kursi itu hampir dipadati oleh pecinta (penonton) komedi bangsawan.
Pergelaran ini dibuka dengan serombongan anak muda (laki-laki dan perempuan). Bila itu dikatakan salah satu ciri dari pertunjukan teater bangsawan. Itulah ciri pertamanya yang dimunculkan. Artistik dibangun oleh Kuntara DM. Memang tak lagi mengambil bentuk dari keasliannya.
Bangunan yang diangkut dipanggung itu lebih kepada format atau bentuk teater modern. Hal tersebut bukan menapikan bentuk keaslian dari ketrasionalan teater bangsawan. Sebagai sebuah perkembangan zamannya kita juga tak merisaukan hal yang tervisualkan. Kuntara DM, mengangkut dan menggambar pepohonan, rumah, warung bukan lagi menghadirkan format dimensi decoratif pada zaman Elizabethan. Dimensi realisme itu hadir sekian persen di atas panggung.
Meski tak harus seribu batang pohon yang harus ditanam diatas panggung. Pohon , rumah dan warung telah mewakili dimensi alam yang sebenarnya sebagai sebuah pelataran dari sebuah desa pak pong. Tersusun, ditata dengan sangat hati-hati dan rapi. Takut untuk dikatakan tidak seimbang. Dan sangat rapi tersusun diframe panggung itu.
Dimensi alam lainnya dipertegas oleh pencahaan latar. Seolah kita juga diseret untuk menyaksikan lukisan langit yang ditata oleh Munawar. Dengan fasilitas yang terbilang minim untuk sebuah gedung pertunjukan harus memeras otaknya untuk terus cerdas menghadapi teknologi dihadapannya sebagai 'penabur' cahaya di atas panggung pertunjukan.
Di sebuah gubuk (rumah) seorang perempuan (Makcik Ronggeng), rintihan, pengelolaan dasar hasil dari pita suaranya, menggelinding. Inilah tanda dimulainya teater bangsawan itu.
Motif prolog Makcik Ronggeng.(diperankan; Intan Baiduri DA/4 dengan alunan suaranya yang merdu). Mengantar kalimat-kalimat filosofis yang disusun oleh Alm. Amir Arsyad Nasution (Alfatiha..... hadirkah kau malam itu? Menyaksikan semangat dapur pak pong yang kau gagas kembali dengan para sahabat? Terus disuburkan, Mir. Mereka selalu "bertengar" dengan kreatifitas. Dan semangat itu tengah berlari, sahabat. Dan doa yang baik itu juga dihantar oleh kawan-kawan yang hadir malam itu.)
"Aku malu bercermin. Sebab banyak yang lebih pantas. Aku malu bercermin karena aku belum berbuat apa-apa. Aku hanya setetes air yang memberi dahaga. Aku hanya payung yang usang. Hujan dan panas baru dibutuhan. Aku tenggelam dalam lautan dalam. Aku berjalan jauh tertatih-tatih. Atau aku mati sendiri, di saat tuan-tuan mengingkari perjuanganku. Aku cuma perahu kecil. Tapi aku harus terus mendayung ke depan. Agar anak cucuku tahu nantinya. Aku malu bercermin. Entah siapa pemilik aku ini. Tiada siapa yang menolongku. Sedih dan sunyi kurasa....................." Dstnya.
Ya, itu filosofis hidup. Kejumawaan kemanusian memiliki rasa dan peradaban yang santun. Bentuk kesadaran bahwa siapapun harus memperjuangkan hidupnya. Ya, kita cuma "perahu" kecil. Kadang tenggelam dalam lautan dalam. Dan kalimat-kalimat itu menjadi sebuah propaganda, pesan kepada para penonton malam itu. Disela-sela lainnya manusia kehilangan Tuhan dalam dirinya. Tak ada yang mampu menolong kecuali diri sendiri.
Kesatiran tersebut mampu merambat dan membuka peluang yang lebar terhadap apa saja yang menghalagi jalannya. Hal itu juga sebuah sindiran dan tamparan kepada ruang-ruang kesenian yang terus dikerdilkan dan diamputasi, kreatifitas yang seolah-olah di'elus' tetapi secara perlahan dan samar-samar diberangus!
('Atau aku mati sendiri, di saat tuan-tuan menginkari perjuanganku'.) Atau kita memilih mati sendiri? (mengalahkan kreatifitas?) Filosofis yang manis juga dari pikiran Tatan Daniel; Meronggeng atau Mampus? Kalimat ini juga semacam cemeti untuk kelompok Pak Pong Medan kiranya. Keren.
Kreatifitas yang telah terjadi tersebut dilakukan oleh team ini melakukan perjuangannya dengan 'urunan' dari para anggotanyan memproduksi teater bangsawan. Dan beberapa koleganya untuk menyuburkan pertunjukan malam 17 Januari 2020, kemarin. Dikemas dalam komedi Farce adalah drama yang menyerupai dagelan, tetapi tidak sepenuhnya mengetengahkan dagelan.
Dan yang harus tetap dicermati adalah permainan improvisasi terkadang tidak harus juga berlebihan kadarnya. Menabur umpan untuk 'melucu' agar memecahan tawa dibangku penonton.
Bahkan hal tersebut sangat mampu menumbangkan persoalan yang diusung dalam sebuah cerita yang seharusnya selesai, harus mengulangnya kembali. Dan pengulangan-pengulangan yang dilakukan malah memperlamban tempo permainan. Dan ada kesan dan untuk memcari peluang efek agar penonton mampu tertawa. Hal itu juga bisa membahayakan sebuah pertunjukan; semestinya para pemain yang hadir diatas panggung mampu 'mengerem' emosinya terhadap pertunjukan tersebut. Titik dasar yang paling penting yang tetap harus terperhatikan. Aktor tetap menjadi vionir penyampai pesan untuk mengabarkan 'peristiwa', kecermatannya harus tetap full; Timing, pesona, pemberian ruh terhadap peranan.
Selebihnya artikulasi juga menjadi sangat vital bagi aktor panggung manapun sebagai peng-kabar. Artinya para aktor tetap waspada kepada dirinya sendiri terhadap ruang yang ingin dibentuknya. Kesadaran terhadap ruang lainnya; kesadaran artistik secara menyeluruh, perilaku peran, emosi agar tak terkatakan menjadi cacat.
Kekokohan yang divisualkan Syahrial Felani (Mak Yal) sebagai pengatur laku lebih kepada penataan komposisi tari yang terbilang memperlihatkan kerapiannya. Orang-orang yang meronggeng sebagai ansambel. Untuk bangunan cerita 'Makcik Ronggeng' yang harusnya menjadi primadona, sosok sentral cerita 'bisu'. Persoalannya psikis tokoh itu sangat samar. Persoalan teater bangsawan juga sekali waktu sangat mampu untuk mengusung 'HAMLET' sebagai naskah utuh yang juga memiliki pamornya sebagai naskah yang baik.
Dan akan muncul dua persoalan dalam teater apapun itu; Pertama Aktor yang handal akan mampu memberikan ruang imajinasi, memberikan nyawa terhadap naskah yang terbilang lemah. Mungkin.
Pilihan kedua adalah aktor yang tak memiliki 'kecerdasan' atau aktor yang tak mampu meng-investasikan kemahirannya dalam berlakon, bila dihadapkan dengan naskah yang telah diakui kemasyurannya, maka 'panggung' sebagai sebuah tontonan akan 'ambruk' juga! Mana pilihan pilihan kita?. Bahwa kreatifitas harus tetap disanding dengan proses yang matang dan pilihan-pilihan untuk melahirkan dan memberikan sebuah logika 'baru' dipanggung teater itu.
===
Penulis adalah scenographer/sutradara & pendiri teater siklus Ind. Art Medan.
===
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya orisinal, belum pernah dimuat dan tidak akan dimuat di media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px) dan data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan). Panjang tulisan 4.000-5.000 karakter. Tulisan sebaiknya tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]