Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Kasak-kusuk penentuan pasangan calon dalam Pemilihan Kepala Daerah ( Pilkada) Serentak 2020 hingga kini masih menunggu proses dan cara partai politik menetapkan kandidat yang akan dihadirkan di tengah - tengah publik pemilihnya. Tarik menarik, lobby dan negosiasi ke dalam partai oleh para kandidat yang berminat, selama ini terlalu sering memperlihatkan sentralisasi keputusan di tangan elite partai politik. Proses bottom up dan demokrasi internal yang tidak berjalan.
Berulang kali proses penentuan sangat tergantung pada tokoh sentral, seperti pendiri partai, ketua umum atau dewan pembina. Hampir semua partai politik dalam menentukan calonnya mengabaikan proses demokrasi internal dan menyerap aspirasi publik. Bahkan suara kader dan pengurus di daerah hanya dianggap sebagai riak kecil di lautan luas.
Mengukur Kinerja Partai Politik dan Demokrasi
Fenomena penunjukan kandidat dari luar kader partai dan luar daerah menunjukkan tidak berjalannya proses kaderisasi di internal partai, dengan alasan faktor popularitas dan elektabilitas calon. Padahal kinerja partai dan kader berada di setiap ruang dan waktu yang secara terus-menerus menentukan popularitas dan elektabilitasnya, atau partai politik memang mengalami kegagalan dalam menyerap aspirasi dan kontribusi publik dalam proses kontestasi demokrasi.
Partai politik semakin terasa jauh dari fungsinya melahirkan kader-kader berkualitas, apalagi adanya stigma dari salah satu partai politik bahwa hanya akan ada calon pasangan tunggal dalam Pilkada Kota Medan 2020, dan akan berusaha memenangkan kertas suara kosong.
Persoalan ini tentu menjadi tanda tanya besar dalam sistem kaderisasi dan rekrutmen dalam proses penjaringan yang dilakukan oleh partai politik. apakah tidak ada proses kaderisasi untuk pejabat publik yang terkonsep?
Dengan stigma calon tunggal seperti menjelaskan fungsi partai sebagaimana diamanatkan oleh UU Partai Politik, sebagai lembaga politik yang melakukan rekrutmen dan melahirkan calon pemimpin, sepertinya hanya menjadi tulisan di dalam undang undang.
Jika diperhatikan secara kebiasan partai politik dalam menentukan calon kepala daerah sejauh ini masih sering seperti " pasar malam " alias remang remang. Menegasikan yang sudah terang dan menerangkan yang gelap. Bergelap-gelap dalam terang, berterang-terang dalam gelap kalau menggunakan istilah yang lazim.
Pasar yang sangat ramai dan banyak orang ketika musim semi politik dan musim panen, tetapi pada masa tanam dan perawatan atau kinerja sehari – hari akan sepi bak pasar tanpa pedagang dan pembeli, sehingga hubungan dengan konstituennya terkesan sangat pragmatis.
Tidak heran, bagaimana sangat jarang ditemukan atau terbukanya alasan pemilihan pasangan calon karena pertimbangan idieologi, karena secara praktek akan sulit menemukan perbedaan secara kinerja ideologis antar partai politik.
Partai politik seharusnya memiliki rasa tanggung jawab atas rendahnya partisipasi warga dalam Pemilu maupun Pilkada. Karena secara tugas dan fungsi partai politik adalah pihak yang paling berkontribusi atas gagalnya demokrasi elektoral, karena minim edukasi politik dan riel fungsional sebagai motor penggerak demokrasi.
Merupakan pandangan yang keliru bila rendahnya partisipasi publik dibebankan sepenuhnya ke Komisi Pemilihan Umum (KPU). Sebab, KPU hanya sebatas penyelenggara teknis, walaupun KPU membuat strategi mobilisasi pemilih, tapi itu tidak akan banyak mempengaruhi.
Partisipasi masyarakat dalam setiap kontestasi demokrasi merupakan alat ukur yang paling objektif dalam melihat sejauh mana proses kaderisasi dan pendampingan sampai penyerapan aspirasi masyarakat dilaksanakan, sehingga berdampak pada partisipasi konstituen.
Evaluasi proses pelaksanaan demokrasi setelah 22 tahun reformasi, sering dianggap hanya melahirkan oligarki elite partai politik. Sekaligus menegaskan liberalisasi demokrasi dengan sistem one man, one vote and one value.
BACA JUGA: Festival Danau Toba Ditiadakan = Buruk Muka Cermin Dibelah
Situasi yang menjadikan masyarakat hanya sebagai subordinat dari partai politik, bahkan sebatas objek dalam sistem satu orang, satu suara, satu nilai. Harapan untuk menjadikan publik atau masyarakat sebagai subjek dari keputusan partai sangat minim, apalagi berfungsi sebagai penyambung lidah rakyat.
Dinamika demokrasi dalam pemilihan langsung terlalu sering meletakkan masyarakat dalam pendidikan dan partisipasi politik sebatas pemilih, dan melupakan kedaulatan pemilih sebagai pemberi mandat kekuasaan.
Tapi kondisi ini bukan berarti menguatkan pesimisme terhadap demokrasi dan partai politik. Namun menjadi evaluasi dalam mengukur demokrasi secara realistis dan memperbaiki kualitasnya.
Menanti Harapan Atau Kekecewaan
Secara umum sepertinya tidak akan banyak perubahan dalam proses penentuan pasangan calon kepala daerah pada Pilkada 2020, karena sejauh ini indikasi para calon kepala daerah yang sedang melakukan lobby dan mengikuti penjaringan masih dengan pola – pola lama.
Belum terlihat konsepsi pemikiran ataupun gagasan perubahan untuk membawa kemajuan ekonomi, pendidikan, kesehatan dan sosial dari calon yang mondar - mandir kebeberapa partai politik.
Tentunya sangat dinantikan calon kepala daerah yang diajukan partai politik adalah sosok yang memiliki konsepsi, program hingga pelaksanaan teknis untuk mendorong perubahan dan mendistribusikan keadilan dengan adil tanpa harus membuat satu kelompok kenyang dan kelompok lain lapar.
Karena hajatan politik dalam demokrasi, seperti pertandingan sepak bola, ketika sebuah tim (partai politik) tidak memiliki pemain bagus dan berhadapan dengan lawan yang jauh lebih tidak bermutu, maka penonton akan kecewa dan tidak akan datang, sehingga stadion akan kosong tanpa supporter.
===
*Penulis Direktur Eksekutif Perhimpunan Suluh Muda Indonesia (SMI)/penggiat HAM dan Demokrasi
===
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya orisinal, belum pernah dimuat dan tidak akan dimuat di media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px) dan data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan). Panjang tulisan 4.000-5.000 karakter. Tulisan sebaiknya tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]