Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Jika ada yang merindukan enaknya di zaman Soeharto, rezim orde baru itu, bahkan ada lagi yang lebih ironis. Yakni, mereka yang merindukan zaman kolonial. Saya memperoleh cerita itu ketika seorang penduduk di kampung saya Padang Lawas datang ke Medan
Lelaki yang sudah tua dan renta itu berkisah bagaimana pemerintah kolonial Belanda menyubsidi petani dengan 10 kupon saban satu hektare kebun karet. Kupon ini ditukar dengan duit setiap akhir bulan. Produksinya ditampung dan pasarnya jelas.
Tak heran jika petani pun rajin memperluas kebun karetnya. Hasilnya, luar biasa. Indonesia setelah era kemerdekaan bisa menjadi produsen karet terbesar di dunia pada 1950-an. Bayangkan, 43,2% karet alam dunia datang dari Indonesia. Malaysia cuma 32,2% dan Thailand 5,8%.
Tapi setelah orde aru, produk kita tinggal 26,9% pada 1970, digantikan Malaysia dengan 42,1%. Dua dasawarsa berselang, giliran Thailand berada di puncak pada 1990-an.
Data FAO 2017 menunjukkan, Thailand sebagai penghasil karet terbesar dunia memiliki produksi karet sebesar 4.600.000 ton dan diikuti oleh Indonesia yang berada di peringkat kedua dengan produksi sebesar 3.629.544 ton. Sementara itu Vietnam berada di urutan ketiga dengan 1.094.519 ton.
Rupanya “zaman kupon” itu diteruskan oleh dua negeri jiran itu. Pemerintah menyuntik modal kepada petani secara hibah. Bukan kredit. Dari mana sumber dananya?
Ternyata mengucur dari Kantor Bantuan Dana Penanaman Kembali Karet Thailand. Institusi inilah yang mengeluarkan izin ekspor dan memetik pungutan ekspor (PE). Nah, 85% dari PE itu, kemudian menetes kepada petani yang mau meremajakan kebun karetnya.
Kita terbayang masa depan petani karet Thailand akan cerah. Logikanya, jika kini produksi karet alam dunia sebesar 9,9 juta ton dan karet sintetis sekitar 12, 9 juta ton, bisa diprediksi bahwa karet sintetis akan menyusut karena stok minyak bumi yang menipis dan kian mahal pula.
Tragisnya, Indonesia punya Pungutan Ekspor atau Beaya Keluar (BK) karet (dan CPO), tapi duitnya tidak mengalir kepada petani. Mengapa pemerintah tidak memodifikasi zaman kupon karet di masa silam itu, dengan penyesuaian di sana sini, agar karet Indonesia kembali berjaya?