Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Berjabat tangan dengan penuh kekeluargaan adalah salah satu ciri khas bangsa ini yang menunjukkan betapa ikatan sosial itu masih kuat (strong social ties). Dalam aktivitas keseharian mulai dari tempat kerja, aktivitas sosial, aktivitas ibadah di rumah ibadah berjabat tangan sambil mengucapkan salam dan ungkapan budaya seperti ‘horas’...., ‘yahobu’...., ‘mejuah’.... juah, misalnya, membuktikan betapa bangsa ini masih punya nilai persaudaraan (value of brotherhood) yang cukup bagus.
Kini, jarak sosial (social distancing) itu dianggap sebagai solusi (problem solving) untuk mencegah virus corona (covid-19) yang sedang kita lawan saat ini. Apakah jarak sosial juga akan melahirkan kerusakan sosial yang sama (social destruction) sebagai sebuah konsekuensi daripada corona yang sangat membahayakan (quite dangerous) ini?
Bermula dari sebuah kota di Cina, Kota Wuhan, Provinsi Hubei, virus corona (Covid-19) kini telah membuat dunia dalam sebuah cengkraman ketakutan. Sudah banyak energi yang keluar dalam rangka melawan virus corona yang bisa membuat dunia meninggal. Bahkan, di Kota Milan sebagai salah satu kota mode dan pusat keuangan dunia juga aktivitas hampir lumpuh, kalau bisa dikatakan ‘lockdown’ (lumpuh). Semua bangsa di dunia ini sedang dalam merumuskan, melakukan segala upaya apa yang harus (patut) dilakukan agar virus ini bisa di atasi dengan baik.
Saat ini, dalam berbagai percakapan di jagat media sosial mulai dari Whattshapp, instagram, facebook, masalah corona jadi isu yang terus mendapat porsi yang paling besar. Ada yang melakukan ‘share informasi’ mengenai corona dari berbagai sumber. Mulai dari dampak yang mematikan dari corona, upaya pencegahan, semuanya membuat orang sangat sibuk dengan jarinya mengendalikan android membahas masalah corona.
Di tengah-tengah upaya menemukan solusi (problem solving) bagaimana mengatasi corona ini ada sebuah fenomena sosial yang sangat risih kita lihat. Sebagaimana yang kita ketahui masyarakat dengan budaya timur, khususnya bangsa kita hidup dalam sebuah ikatan sosial dan kekeluargaan yang sangat kuat. Bangsa Indonesia punya budaya yang sangat khas dalam hal bersalaman atau berjabat tangan, saling peluk karena kasih persaudaraan yang sangat tinggi. Sebagai contoh, dalam tradisi gereja setelah ibadah minggunya para jemaat dan pendeta, sesama jemaat saling berjabat tangan sebagai ungkapan persaudaraan yang sangat tinggi atas dasar kasih.
Kini, gereja pun nampaknya tidak mau mengambil risiko karena arahan secara medis dari pihak yang paling berkompeten mengimbau masyarakat untuk tidak berjabat tangan, menghindari keramaian dalam rangka memotong mata rantai peredaran virus corona. Kini dengan adanya virus Covid-19 ini kita diperhadapkan sebuah tatanan sosial yang rusak (social destruction). Tatanan sosial yang rusak itu maksud adalah virus corona membuat jarak sosial (social distance) dan juga membuat kehancuran sosial.
Sampai kapan jarak sosial dan kehancuran sosial karena corona ini terus berjalan? Harapan kita bersama jarak sosial ini harus segera diakhiri, sehingga tidak membuat social destruction yang semakin parah. Padahal jarak sosial karena virus corona atau covid-19 ini terjadi bukan karena sentimen sosial atau karena pengelompokan. Artinya bahwa pelapisan sosial itu bukan dilakukan karena satu suku, satu kelompok kerja, satu profesi, satu team sebagaimana layaknya pengelompokan dalam teori sosial.
Bahkan, jarak sosial yang terjadi bukanlah seperti teori sosiologi yang dikemukakan oleh para sosiolog seperti Pitirin A. Sorikin. Sorokin mengemukakan teorinya bahwa pelapisan sosial merupakan pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat (hierarkis). Perwujudannya adalah adanya lapisan-lapisan di dalam masyarakat, ada lapisan yang tinggi dan ada lapisan-lapisan di bawahnya. Setiap lapisan tersebut disebut strata sosial.
Kemudian, saat yang sama, PJ Bouman menggunakan istilah tingkatan atau dalam bahasa Belanda disebut stand, yaitu golongan manusia yang ditandai dengan suatu cara hidup dalam kesadaran akan beberapa hak istimewa tertentu dan berdasarkan gengsi masyarakat. Sementara di satu sisi, jarak sosial membedakan kelompok-kelompok masyarakat secara horizontal berdasarkan jarak peradabannya. Artinya, jarak sosial yang dikemukakan dua para ahli ini memang terjadi karena sebuah desain sosial atau karena faktor yang bersifat alami dan juga karena adanya mobilisasi yang membuat jarak.
Ini tidak, corona telah membuat jarak sosial sebagai sebuah upaya untuk mencegah peredaran yang semakin parah. Perkembangan terkini bisa kita lihat bagaimana masyarakat menyikapi jarak sosial ini. Ada yang setuju dengan mengatakan karena itu adalah untuk kebaikan bersama karena memang secara ilmiah bisa dibuktikan peredaran virus corona bisa karena bersentuhan secara langsung. Tetapi ada juga yang menyikapi tidak mungkin hanya karena corona jarak sosial itu kita buat.
Pandangan ini tidak bisa kita nafikan karena ada saja masyarakat dengan tegas mengatakan persahabatan dengan segala simbol atau atributnya seperti berjabat tangan kita tiadakan karena virus corona ini. Bahkan dalam sebuah ibadah gereja ketika pendeta mengimbau agar tidak salaman untuk mencegah corona, ada saja jemaat mengatakan virus corona mati di gereja dan kuasa Tuhan tidak akan lebih kuat dari corona. Ini adalah sebuah nilai yang dipegang oleh jemaat dan tidak semudah itu menyalahkan masyarakat yang punya pandangan seperti ini.
Sebagai warga negara yang cerdas, mari kita ikuti aturan dan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah untuk mencegah virus corona ini. Arahan dan imbauan dari pemerintah seperti larangan berjabat tangan, jangan cipika- cipiki untuk mencegah perdaran corona ini mari kita ikuti. Selagi tujuannya untuk mencegah corona, mari menyikapi “social distancing” dengan positive thinking. Artinya, jarak sosial itu bukan karena kita sengaja, ini adalah sebuah konsekuensi daripada penyakit virus corona. Social distancing ini pun tidak akan membuat terjadinya kehancuran sosial (social destruction).
Penutup
Memang corona (covid-19) telah membuat social distancing dan social destruction versinya sendiri. Tetapi dalam konteks memberangus corona ini “social distancing” ini adalah sesuatu yang sangat positif. Mari mengikuti arahan resmi dan imbauan resmi dari pemerintah sebagai pihak yang paling berkompeten dalam memberangus virus corona ini. Semoga saja jarak sosial ini segera berakhir seiring dengan ditemukannya vaksin anti virus corona.
Mari berdoa agar masalah corona ini segera berakhir, dan jarak sosial (social distancing) itu jangan terjadi lagi dalam kebiasaan atau tradisi masyarakat kita.
==
Penulis adalah Pengajar Tetap FISIP Universitas HKBP Nommensen (UHN) Medan/Mahasiswa S3 Manajemen Pendidikan Unimed Medan
===
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya orisinal, belum pernah dimuat dan tidak akan dimuat di media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPG) dan data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan). Panjang tulisan 5.000-6.000 karakter. Tulisan sebaiknya tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]