Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Pagi itu (Kamis, 26 Maret 2020), sebuah pesan Whatsapp dari seorang teman muncul di layar monitor selularku, mengabarkan berita cukup mengejutkan. ”Di, sahabat kita Lindung sudah pergi dini hari tadi.” Bersamaan dengan pesan itu, teman tadi mengirim link facebook yang memberi informasi lebih jelas tentang kabar itu.
Aku sebenarnya sudah lama tidak aktif dalam dunia facebook. Heboh kampanye presiden beberapa waktu lalu membuat aku memilih menjauh dari media sosial itu karena begitu banyak ujaran kebencian yang berseliweran di dalamnya.
Tapi kali ini, karena ingin tahu kabar sahabat lebih jelas, aku menelusuri link yang diberikan. Akhirnya aku dapat memastikan bahwa Lindung yang dimaksud adalah Parlindungan Sibuea, sahabat sewaktu mahasiswa, sebagai sesama aktivis, dan sahabat dalam dunia jurnalistik. Syukurnya lagi, link itu menulis jelas alamat persemayaman jenazah.
Menjelang siang, aku langsung berangkat menuju alamat tersebut. Tidak sulit mencari rumah itu, karena hanya berjarak sekitar 50 meter dari Jalan besar Cemara, Pulo Brayan. Di mulut gang sudah terpanjang bendera merah sebagai tanda duka cita, sehingga semua orang yang ingin melayat lebih mudah mencari alamat tersebut.
Seperti aku perkirakan semula, tidak banyak handai-tolan yang hadir menyaksikan saat-saat terakhir Lindung sebelum dimakamkan. Isu corona membuat semua interaksi sosial menjadi berubah. Hanya keluarga dan para sahabat dekat yang setia mengelilingi jenazahnya. Sepertinya Lindung memang harus pergi dalam kesunyian, sebagaimana sikapnya yang selalu tampil tenang, bersahaya, dan sederhana. Dia adalah sosok teman juga tidak mau dipuji dan enggan untuk meminta, meski ia membutuhkan bantuan.
Hari itu aku melihat wajah Lindung terakhir kalinya, sebuah wajah yang bersih, polos, tanpa ada lagi aura keganasan seorang aktivis yang biasa melekat pada dirinya. Seumur hidup, baru sekali itu aku melihat Lindung tampil dengan jas yang rapi dan bersih. Boleh jadi, itu adalah pakaian termahal yang pernah melekat pada tubuhnya.
Kalau seandainya dia masih ada di dunia ini, aku yakin Lindung tidak pernah mau memakai pakaian seperti itu. Ia pasti memilih tampil sederhana, dengan celana jeans dan baju kaus seadanya. Hanya sesekali ia terlihat memakai kemeja.
Sebagai seorang jurnalis, ia telah mewawancarai sejumlah pesohor besar di negeri ini. Tapi semua itu tidak membuat Lindung berubah dalam tampilan. Sejak mengenalnya sebagai mahasiswa, penampilan Lindung begitu-begitu saja. Penampilan itu pula yang membuatnya mudah masuk ke semua simpul pertemanan, baik di kalangan petani, buruh, politikus, masyarakat desa dan pemerintahan.
Dia juga tidak pernah kaku berteman dengan kalangan pebisnis atau perbankan. Bahkan ia cukup lama bekerja di media yang fokus pada isu ekonomi, ladang jurnalis yang biasa diisi para narasumber dari kalangan orang-orang necis dan borjuis. Lindung tetap Lindung, sosok yang tidak pernah berubah di perputaran zaman.
Aku dan Lindung berteman sejak kami sama-sama mahasiswa di USU. Kami berbeda fakultas, dia di teknik mesin, sedangkan aku di fisika murni. Pertemanan kami dipertemukan oleh gerakan mahasiswa yang di era tahun 90-an kerap demo tentang isu lingkungan dan isu sosial lainnya. Di situ aku mengenalnya sebagai sosok yang kritis, teguh, idealis dan peduli dengan suara arus bawah. Ia juga cerdas dalam menyusun skenario aksi agar gerakan itu mendapat perhatian luas.
“Kita ini bukan kelompok yang bisa menyelesaikan masalah. Tapi kita bisa berperan memaksa pemerintah menyelesaikan masalah ini,” katanya dalam sebuah rencana aksi yang pernah kami bahas bersama.
Tidak heran, dalam setiap aksi yang kami lakukan, Lindung kerap berada di garda depan. Suaranya yang keras, tampilan yang lusuh, dan dengan wajah yang tak mengenal takut, ia mampu membuat mikropon di tangannya menjadi pelecut semangat kami untuk bergerak. Bisa dikatakan, di era 90-an itu, tidak ada aksi mahasiswa USU tanpa ada Lidung di dalamnya.
Sibuk mengkritisi isu-isu politik dan kemasyarakatan membuat Lindung kelabakan menyelesaikan kuliah. Aku sendiri, sejak tahun 91 sudah aktif di dunia jurnalistik sebagai koresponden untuk sebuah majalah nasional. Aksi-aksi mahasiwa kerap aku jadikan sebagai bahan liputan dengan menjadikan Lindung sebagai narasumbernya.
Setelah Lindung memutuskan tidak melanjutkan kuliah di fakultas teknik, ia semakin memperluas aksinya membela kaum buruh, petani, sopir angkot, dan kelompok marjinal lainnya. Tekadang ia tidur bersama petani di desa-desa pedalaman, terkadang berkumpul bersama buruh dan lainnya. Jika ada isu-isu menarik, dia kerap mengontak aku untuk disampaikan ke ruang publik.
Berselang beberapa tahun kemudian, aku mendengar kabar kalau Lindung juga mulai menggeluti dunia jurnalisik. Aku bisa pastikan, liputannya pasti tidak jauh dari isu hukum dan keadilan. Ketika aku bersama Turunan Gulo, As Atmadi dan dr Delyuzar Harris mendirikan Parliament Watch mendirikan lembaga Parliament Watch di Medan, Lindung adalah sosok yang sama-sama kami rekomendasikan menjadi bagian dari tim inti.
Parliament Watch, sebagaimana namanya, adalah sebuah lembaga yang visi utamanya memantau gerak gerik wakil rakyat di gedung parlemen. Pemantauan itu kami lakukan karena kami yakin euforia reformasi 1999 banyak menghadirkan anggota parlemen yang asal jadi. Melalui sebuah terbitan bulletin dengan nama yang sama, “Parliament Watch” kami menyebarkan semua informasi mengenai perilaku anggota parlemen itu ke masyarakat.
Tentu saja informasi itu menjadi makanan empuk bagi Lindung. Hampir setiap hari dia nongkrong di gedung DPRD Sumut dan DPRD Medan memantau tindak tanduk anggota dewan di sana. Karena media yang kami kelola bersifat nonkomersil alias gratis, terbitan Parliament Watch mudah diterima masyarakat. Setiap edisi kami menampilkan semua perilaku anggota dewan, baik yang bekerja serius, maupun yang asal Datang, Duduk, Diam, dan Duit.
Tak heran jika Lindung menjadi wartawan yang cukup terkenal di gedung dewan kala itu. Setiap ia hadir dalam sebuah pertemuan, beberapa anggota DPRD mulai kasak-kusuk, “Hati-hati, ada Parliament Watch di sini..!”
Tanpa bermaksud membanggakan diri, kehadiran Parliament Watch cukup berperan mendorong anggota dewan di Sumatera Utara hati-hati bergerak. USAID sebagai penyandang dana menyarankan kami untuk mengembangkan media itu menjadi tabloid yang bisa disebarkan lebih luas lagi di wilayah Sumatera Utara. Isu yang ditampilkan tidak sebatas situasi di gedung dewan saja, tapi menyentuh isu-isu lain yang berkembang di masyarakat. Atas kesepakatan itu, kami pun mengubah Parliament Watch menjadi Tabloid Otonom.
Saya sebagai pemimpin redaksinya, sedangkan Lindung andalan utama yang menembus informasi di lapangan bersama tim lainnya. Di media ini, jiwa seorang Lindung sebagai aktivis dan jurnalis benar-benar dapat disalurkan dengan bebas. Sikap kritisnya dalam menilai sebuah kelayakan berita semakin tajam, karena kami menerapkan rapat redaksi yang ketat untuk rencana peliputan. Perdebatan sengit di kalangan tim redaksi merupakan hal lazim terjadi di tim kami.
Watak Lindung sebagai sosok yang cerdas dalam berargumen tergambar jelas dalam setiap rapat yang kami lakukan. Saya termasuk yang kerap berdebat dengannya terkait isu-isu yang akan diberitakan. Terkadang perdebatan kami cukup keras, tapi semua itu sebatas pemikiran. Kami tidak pernah mengaitkan perdebatan itu dengan hubungan personal. Rapat redaksi adalah ruang bagi kami untuk mengasah ketajaman berpikir, sekaligus menumpahkan sumpah serapah terhadap sistem kerja.
Usia Tabloid Otonom memang tidak panjang, sekitar setahun, karena USAID menghentikan dukungannya. Tapi kebersamaan kami di dalam komunitas itu menjadi kenangan yang sulit dilupakan. Ada banyak canda, tawa dan kepahitan yang kami rasakan selama mengelola media itu. Otonom memang dirancang untuk periode yang singkat, karena misi utamanya menyebarkan semangat berdemokrasi bagi masyarakat.
Setelah proyek Otonom berakhir, saya turut mendiriikan Harian Medan Bisnis, sebuah media yang pemberitaanya dirancang fokus pada isu-isu ekonomi lokal. Sebagai orang yang berperan besar di bidang keredaksian, tentu saya berwenang menentukan tim redaksi yang bergabung di media itu. Tidak sulit bagi saya membangun tim, karena seluruh tim yang pernah bergabung dalam Parliament Watch dan Otonom saya boyong ke media bisnis itu. Lindung termasuk di dalamnya.
Karena saya tahu ia sangat kritis di bidang politik dan pemerintahan, saya meminta dia memantau pemberitaan di Kantor Gubernur dan DPRD Sumut. Penekanan pemberitaan saya minta sedikit bergeser ke isu ekonomi untuk disesuaikan dengan visi Harian Medan Bisnis.
Lindung tidak sulit menyesuaikan diri dengan perubahan itu. Hanya, karena pola pikirnya untuk isu keadilan sangat kuat, umumnya berita yang ditulisnya mengarah kepada ekonomi politik. Tidak masalah, karena isu itu justru sangat menarik bagi publik.
Setelah dua tahun kami bersama membesarkan Harian Medan Bisnis, Lindung pamit untuk belajar jurnalisik di Lembaga Pendidikan Pers Dr Sutomo (LPDS) Jakarta. Setelah menamatkan pendidikan itu, ia memilih bertahan di Jakarta bergabung dengan sejumlah media di sana.
Tidak lama setelah Lindung hengkang, Akupun memilih keluar dari Medan Bisnis, menerima tawaran sebagai redaktur eksekutif di sebuah majalah di Jakarta. Sayangnya, karena kesibukan yang padat, kami tidak pernah bertemu di Jakarta. Tsunami dan isu perdamaian mendorong saya pindah tugas ke Aceh pada 2005. Aku juga mendengar kabar kalau Lindung memilih kembali ke Medan.
Pada tahun 2015, Aku sempat ke Medan dan mengajak Lindung dan eks tim Otonom bereuni. Kami makan dan minum bersama di sebuah kafé di pusat Kota Medan. Sosoknya tidak berubah, tetap dengan rambut gondrong, dengan kaos dan celana jeans. Hanya pola pikirnya lebih tajam lagi, tidak hanya mengkritisi kondisi negeri saat ini, tapi juga kritis melihat situasai masa depan.
Aku juga mendengar kabar kalau Lindung sempat mendirikan lembaga pendidikan politik di Medan, meski itu juga tidak berumur panjang. Hingga akhirnya, Kamis, 26 Maret, aku kembali bertemu dengannya sebelum tubuhnya diselimuti dengan tanah. Sahabat itu telah pergi dengan meninggalkan banyak keteladanan atas sikap yang tegas, cara berpikir yang kritis serta hidup yang sederhana.
Dia mungkin kekurangan secara materi, tapi ia terkenal sebagai wartawan yang enggan meminta, apalagi menerima pemberian sebagai upah berita. Ia sosok makluk langka di bumi ini. Jika ada orang miskin yang idealis, Lindung adalah salah satunya.
Selamat jalan sahabat. Selamat menyongsong hidup dalam keabadian..!
Penulis: Ahmady
Pendiri AJI Medan dan salah satu pendiri Harian Medan Bisnis