Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Berdasarkan data dari Worldmeter (02/04/2020), memasuki awal April 2020, kasus coronavirus di seluruh dunia hampir mencapai satu juta kasus, dengan korban meninggal dunia lebih dari 51.000 jiwa. Amerika Serikat menjadi negara dengan kasus terbanyak, yaitu lebih dari 200.000 kasus. Korban meninggal dunia terbanyak ada di Italia, yaitu lebih dari 13.000 jiwa, atau sekitar 11,9% dari keseluruhan kasus corona virus di Italia. Sementara di Indonesia, jumlah kasus coronavirus yang terdeteksi hingga artikel ini ditulis mencapai 1.790 dengan total korban meninggal dunia 170 jiwa.
Data di atas bukanlah sekadar angka statistik, melainkan hal yang mesti ditangani dengan kebijakan-kebijakan yang cepat dan tepat, karena 51.000 di seluruh dunia atau 170 di Indonesia korban meninggal dunia akibat wabah korona bukanlah angka yang kecil. Setiap nyawa sangat berharga.
Melakukan identifikasi terhadap setiap yang dicurigai suspect korona sangatlah penting untuk mengambil tindakan lanjut sesegera mungkin. Oleh karena itu diperlukan deteksi secara cepat dan akurat. Salah satu metode identifikasi yang dilakukan di banyak negara, yaitu Polymerase Chain Reaction atau disingkat PCR. PCR bukanlah teknologi baru, teknik ini pertama kali dikembangkan oleh Kary Banks Mullis, biokimiawan Amerika Serikat pada 1985, selanjutnya bersama rekannya Michael Smith pada 1993 ia dianugerahi Nobel Kimia.
Teknik PCR punya akurasi hasil tinggi dan efisien waktu karena dapat mengamplifikasi segmen DNA dalam jumlah jutaan kopi hanya dalam waktu beberapa jam. Cara kerja teknik ini menggunakan prinsip thermocycle, yaitu menaikkan dan menurunkan suhu untuk menggandakan fragmen DNA. Secara umum ada tiga tahapan perubahan suhu pada metode PCR, pertama adalah denaturasi untuk memisahkan sepasang untai DNA, kedua annealing untuk menempelkan primer ke cetakan DNA, ketiga pemanjangan, yaitu untuk ekstensi fragmen DNA dengan enzim polymerase dan primer untuk menghasilkan kopi DNA. Dalam pengembangannya, dikenal juga real time PCR dengan menambahkan probe untuk menghasilkan sinyal fluoresen, sehingga kuantitas sekuen asam nukleat dapat diukur secara real time.
Dalam rangka deteksi virus, teknologi PCR tidak hanya digunakan untuk identifikasi medis terhadap manusia, namun juga digunakan pada bidang lain, seperti proteksi tanaman dan peternakan. Misalnya untuk identifikasi patogen pada tanaman, yang selanjutnya hasil identifikasi tersebut dijadikan rujukan untuk menghasilkan genotip tanaman yang tahan terhadap penyakit yang disebabkan pathogen tersebut.
Menurut International Atomic Energy Agency (IAEA), reverse transcription-PCR (real time RT- PCR) adalah salah satu metode lab yang paling akurat untuk mendeteksi, melacak, dan mengidentifikasi coronavirus. Bagaimana teknis deteksi coronavirus tersebut dengan metode tersebut? IAEA menjelaskan, sampel dikumpulkan dari bagian tubuh tempat coronavirus berkumpul, seperti hidung atau tenggorokan seseorang yang dicurigai suspect COVID-19. Selanjutnya dibuat perlakuan terhadap sampel menggunakan beberapa zat kimia untuk menghilangkan substansi yang tidak perlu, seperti protein dan lemak, sehingga hanya RNA yang diekstrak.
Beberapa virus seperti coronavirus (SARS-CoV-2) hanya mengandung RNA. Virus-virus tersebut mengandalkan infiltrasi sel sehat untuk bertahan hidup dan berkembang biak. Begitu berada di dalam sel, virus menggunakan kode genetiknya untuk mengendalikan dan memprogram ulang sel sel sehingga mereka menjadi pabrik pembuat virus.
Karena coronavirus hanya mengandung RNA diperlukan langkah mengubah RNA menjadi DNA. Langkah ini disebut reverse transcription atau transkripsi terbalik menggunakan enzim spesifik, sebab hanya DNA yang bisa digandakan atau diamplifikasi yang menjadi bagian penting dalam RT-PCR untuk mendeteksi virus. Proses penggandaan memerlukan fragmen pendek DNA yang akan melengkapi dan menempel pada bagian target DNA virus jika virus terdapat dalam sampel. Campuran komponen-komponen tersebut kemudian ditempatkan di mesin RT-PCR. RT-PCR bekerja dengan prinsip thermocycle sesuai yang dijelaskan di atas untuk menggandakan bagian target DNA virus.
Siklus tersebut terus berulang, biasanya diperlukan 35 siklus, sehingga diperoleh sekitar 35 miliar salinan baru DNA virus dari setiap pasang untaian DNA virus pada sampel. Ketika salinan baru DNA virus dibangun, marker atau penanda melekat pada untaian DNA yang kemudian melepaskan fluoresen (pewarna) yang disajikan sebagai data secara real time di layar komputer. Dari fluorensi tersebut dapat dibaca ada tidaknya virus dalam sampel. Metode RT-PCR sangat efisien dalam memberikan diagnosis infeksi secara cepat dan akurat, karena memerlukan waktu hanya sekitar tiga jam. Walaupun biasanya ilmuwan atau petugas lab memerlukan waktu sekitar 6 hingga 8 jam.
Memang, dibanding metode rapid test lain, biaya diagnosa PCR bisa dikatakan lebih mahal. Namun, kita bisa mengoptimalkan perangkat PCR dari lembaga-lembaga yang memiliki perangkat PCR, seperti laboraturium di universitas-universitas, pusat penelitian, atau rumah sakit di seluruh Indonesia. Harapannya, pihak-pihak tersebut bisa dilibatkan secara optimal agar semakin banyak identifikasi terhadap kasus COVID-19 yang bisa dilakukan setiap harinya.
====
Penulis Dosen Faperta Universitas Asahan/Mahasiswa Doktoral Akdeniz University, Turki.
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya orisinal, belum pernah dimuat dan tidak akan dimuat di media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPG) dan data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan). Panjang tulisan 5.000-6.000 karakter. Tulisan sebaiknya tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]