Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Ada sebuah kisah yang sering disampaikan oleh Haim Ginott tentang seorang guru yang mendapat penghargaan sebagai “guru teladan” dari masyarakat. Pada hari setelah dia menerima penghargaan tersebut, dalam perjalanan pulang ke rumah dari sekolah, dia melihat dua anak laki-laki yang sedang menuliskan sesuatu pada semen yang masih basah di depan rumahnya. Ketika dia mendekat, ternyata mereka sedang menuliskan kata-kata yang tidak sopan mengenai dirinya. Dia mendekati kedua anak laki-laki itu dan memukul mereka.
Pagi berikutnya, kepala sekolah yang terkejut mendengar kejadian itu mengundang sang guru ke ruangannya. “Ibu Smith,” katanya, “Saya tidak tahu harus memulai dari mana. Anda, seorang guru teladan, orang yang menjadi panutan kami, seseorang yang mencintai anak-anak, kehilangan kendali dan memukul mereka berdua!”
Ibu Smith tertunduk diam, lalu berkata,”Saya memang mencintai mereka secara abstrak tetapi tidak secara konkret”.
Pendidikan yang baik memang lebih mudah digambarkan secara abstrak daripada diwujudkan secara konkret. Inilah mengapa pendidikan gagal memberikan hasil nyata bagi perkembangan akademis maupun perkembangan karakter.
Persoalan Pendidikan
Haruskah sekolah mengajarkan nilai? Tentu saja sekolah perlu mengajarkan nilai kepada peserta didik. Pendidikan tidak semata-mata hanya memberi nilai pada bagian akademis tertentu, melainkan pendidikan juga harus menekankan pentingnya nilai dan dalam hal ini adalah karakter. Theodore Rosevelt berkata,” Mendidik seseorang hanya pada pikirannya saja dan tidak pada moralnya sama artinya dengan mendidik seseorang yang berpotensi menjadi ancaman bagi masyarakat”.
Persoalan mendasar yang dihadapi sekolah-sekolah kita sekarang ini adalah masalah moral. Persoalan-persoalan lainnya bersumber dari masalah ini. Bahkan reformasi akademis bergantung pada bagaimana kita mengedepankan karakter.
Dalam sebuah masyarakat yang para anggotanya memegang beragam nilai berbeda, rasanya tidak mungkin bisa dicapai sebuah kesepakatan mengenai nilai yang harus diajarkan sekolah. Pluralisme telah menyebabkan kelumpuhan, sekolah-sekolah kebanyakan memilih bersikap netral dalam persoalan nilai. Keadaan itu, dengan begitu cepat telah berubah. Meningkatnya persoalan moral dalam masyarakat, mulai dari keserakahan dan ketidakjujuran hingga tindak kekerasan, perilaku-perilaku yang merusak diri, seperti penyalahgunaan narkoba, pergaulan bebas, bunuh diri telah melahirkan sebuah konsensus baru. Kini, dari seluruh pelosok negeri, mulai dari warga negara individual hingga organisasi-organisasi publik, dari kalangan liberal dan konservatif, memohon kepada sekolah untuk mengambil peran sebagai pengajar moral bagi anak-anak kita.
Tujuan Besar Pendidikan
Sebenarnya untuk menggambarkan tujuan pendidikan secara gamblang dan sederhana adalah menjadikan peserta didik menjadi yang pintar dan baik. Ini saja tujuan fundamental yang paling sederhana. Tetapi apakah itu sudah kita terapkan di dalam pendidikan kita di Indonesia?
Secara nyata tujuan pendidikan kita hanya merujuk kepada satu tujuan yaitu, PINTAR, tanpa memperhatikan bahwa peserta didik itu juga harus menjadi pribadi yang BAIK.
Pendidikan moral bukanlah suatu hal yang baru. Sebetulnya pendidikan moral sama tuanya dengan pendidikan itu sendiri. Kita mengetahui bahwa pintar dan baik tidaklah sama. Mengetahui kondisi itu, sejak zaman Plato masyarakat yang bijak telah menjadikan pendidikan moral sebagai tujuan sekolah. Mereka telah memberikan pendidikan karakter yang dibarengkan dengan pendidikan intelektual, kesusilaan dan literasi, serta budi pekerti dan pengetahuan. Mereka mencoba membentuk sebuah masyarakat yang menggunakan kecerdasan mereka untuk kemaslahatan orang lain dan diri mereka, yang akan mencoba membangun dunia yang lebih baik.
Pendidikan Budi Perkerti Fondasi Demokrasi
Pendidikan moral, seperti yang ditegaskan oleh para pendiri negara kita, sangat penting bagi keberhasilan sebuah masyarakat demokratis. Alasanya adalah bahwa demokrasi merupakan pemerintahan yang dijalankan oleh rakyat, rakyatlah yang bertanggung jawab memastikan kebebasan dan keadilan masyarakat. Ini berarti rakyat harus, setidaknya dalam pengertian tertentu, baik. Mereka harus memahami dan berkomitmen terhadap fondasi-fondasi moral demokrasi: menghormati hak-hak individu, mematuhi hukum, berpartisipasi secara suka rela dalam kehidupan publik, dan peduli terhadap kesejahteraan bersama. Didorong oleh keyakinan seperti ini, pada masa-masa awal berdirinya republik ini sekolah-sekolah memberikan pendidikan karakter. Melalui disiplin, contoh-contoh baik dari para guru, dan kurikulum, sekolah berupaya mengajarakan nilai-nilai patriotisme, kerja keras, kejujuran, hemat, kedermawannan, dan keberanian pada anak-anak.
Ketika masyarakat berpikir bahwa moralitas adalah sesuatu yang terus mengalami perubahan, relatif secara individu, bergantung pada situasi, dan bersifat personal, sekolah-sekolah pun menarik diri dari peran sentral sebagai pengajar moral yang dulu pernah mereka pegang. Sebagai suatu institusi sosial, sekolah harus mengatur prilaku moral: sekolah mengharuskan siswa patuh pada guru, melarang mereka berkelahi, menghukum mereka jika mencontek, dan seterusnya. Melalui tindakan-tindakan nyata para guru dan orang dewasa, sekolah juga memberi contoh mengenai keadilan dan ketidakadilan, menghormati dan tidak menghormati, peduli dan tidak peduli. Tetapi ketika sekolah berpendapat bahwa sekolah tidak boleh “memaksakan” suatu nilai tertentu, maka pendidikan nilai, jika tidak dikendurkan secara aktif, paling jauh hanya akan menjadi sesuatu yang tak terencana dan tidak reflektif, bagian kurikulum yang tidak dikaji. Pendidikan nilai hanya diserahkan kepada kebijakan guru, tidak pernah didiskusikan, sehingga tidak pernah ada diskusi mengenai nilai-nilai manakah yang harus diajarkan dan bagaimana cara mengajarkannya.
Permintaan agar sekolah melakukan perombakan hanya berfokus pada pencapaian akademis. Sekarang kita mengetahui bahwa pengembangan karakter juga dibutuhkan. Kesadaran ini melintas semua batas ruang lingkup masyarakat; permintaan agar sekolah mengajarkan nilai-nilai moral seperti kini terjadi adalah bagian dari “ledakan etika”(ethics boom) yang telah mencatat ratusan program etika yang terlembagakan dalam berbagai bidang, seperti jurnalisme, kedokteran, hukum dan bisnis. Kita sedang memulihkan pemahaman dasar bahwa karakter adalah ukuran utama dari seorang individu dan juga ukuran utama dari sebuah bangsa.
Membangun karakter anak-anak kita dalam sebuah dunia yang kompleks dan terus berubah bukanlah tugas kecil. Tetapi kinilah saatnya menerima tantangan ini.
===
Penulis adalah pendidik dan pemerhati pendidikan di salah satu perguruan swasta di Medan.
===
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPG) dan data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan). Panjang tulisan 5.000-6.000 karakter. Tulisan sebaiknya tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]