Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Program bantuan sosial pemerintah dalam masa pandemi Covid-19 menjadi harapan bagi jutaan warga indonesia, terutama yang terkena dampak langsung. Namun sayang seribu sayang, karena buruknya sistem pengelolan data selama puluhan tahun, menyebabkan banyak kekacauan dalam proses pendistribusian dan sering ditemukan salah sasaran.
Berita dan informasi kekacauan distribusi bantuan sosial, secara jelas bermunculan dilini media massa dan media sosial, bagaimana sengkarutnya proses pendataan, hingga kepada siapa sebenarnya bantuan layak diberikan, menjadi persoalan dilapangan, yang berujung pada protes di media sosial, media massa, hingga ke kantor pemerintahan terdekat, seperti kelurahan dan kantor desa.
Gambaran kekacauan penyaluran bantuan, sangat banyak terjadi baik di desa–desa kabupaten, hingga lingkungan yang ada di perkotaan, dengan persoalan terbanyak adalah praktek kolusi dan nepotisme level tinggi yang dilakukan oleh para pelaksana seperti kepala lingkungan dan kepala desa dalam memasukkan data untuk penyaluran bantuan.
Padahal besarnya bantuan yang dialokasikan pemerintah pusat dan daerah untuk masyarakat yang terdampak Covid-19 sudah cukup besar, Pemerintah Kota Medan sendiri telah mengangarkan Rp 100 miliar yang belum dipergunakan sepenuhnya, untuk penyaluran bantuan sosial, yang telah diberikan kepada 196.000 KK, dari 483.000 KK lebih yang membutuhkan, dan berarti ada sekitar 287.000 KK lebih yang belum tersentuh bantuan.
Sementara Pemerintah Provinsi Sumatera Utara telah mengucurkan anggaran Rp 300 miliar untuk membantu masyarakat yang terdampak penyebaran virus corona (Covid-19) dalam bentuk bantuan sembako untuk 1,32 juta kepala keluarga (KK) di 33 kabupaten/kota yang menurut data berhak menerima bantuan.
Sedangkan pemerintah pusat menyediakan empat jenis bantuan sosial reguler, termasuk Program Keluarga Harapan, dengan total bantuan Rp 37,4 triliun untuk 10 juta keluarga, serta pembagian bahan kebutuhan pokok senilai Rp 43,6 triliun untuk 20 juta keluarga. Begitu juga dengan pengalihan 35 % dari total dana desa tahun ini, sebesar Rp 72 triliun, menjadi bantuan langsung tunai.
Ada pula bantuan sosial khusus untuk daerah tertentu yang paling parah dihantam wabah Covid-19 seperti DKI Jakarta dan Jawa Barat. Bantuan sosial itu diberikan dalam bentuk dana tunai dan paket sembako atau sembilan bahan kebutuhan pokok, sangat disayangkan jika kemudian bantuan yang demikian besar tidak tepat sasaran.
Urgensi Perbaikan Sistem Tata Kelola Pendataaan
Berkaca dari hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan ( BPK ) pada Mei 2019, terkait temuan saldo di rekening penampungan bantuan sosial sebesar Rp168,82 miliar yang belum disetorkan ke negara, yang merupakan dana dari bantuan keluarga sejahtera (KKS) yang tidak terdistribusikan kepada keluarga penerima manfaat (KPM), KPM non-eligible, KPM tidak melakukan transaksi, Bank gagal melakukan multi kredit, dan tidak dapat disalurkan.
Selain itu BPK juga menemukan pemborosan penyaluran bansos beras sejahtera (rastra) kepada KPM di 11 kabupaten/kota dan penyaluran program PKH kepada 7.247 KPM PKH tahap III dan IV tahun sebelumnya yang tidak tepat sasaran dan penyaluran kepada keluarga diluar penerima manfaat. Hasil pemeriksaan juga menemukan kelemahan sistem pengendalian internal, permasalahan ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan dan permasalahan 3E (ekonomi, efisiensi, dan efektivitas).
Desember 2019, Ombudsman RI juga pernah meminta Kementerian Sosial dan Dinas Sosial sebagai penyelenggara negara dalam Program Keluarga Harapan untuk segera melakukan perbaikan karena belum terintegrasinya pengelolaan data calon penerima PKH dari e-PKH ke Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) Pusat data dan Informasi Kementerian Sosial RI dan lambatnya proses penanganan pengelolaan pengaduan yang dilakukan Kementerian Sosial ketika ada masalah di tingkat daerah.
Tentunya semua temuan dari kedua lembaga negara itu, adalah cerminan dari buruknya sistem tata kelola pendataan yang dimiliki oleh pemerintah dan menjadi masalah yang sangat serius ditengah pandemi, yang sangat membutuhkan akurasi dan validitas sistem pendataan sebagai alat ukur penyaluran bantuan sosial yang berjalan secara cepat dan tepat sasaran.
Hingga saat ini, belum bisa diprediksi secara pasti, kapan masa pandemi Covid 19 ini akan berakhir, karena belum ditemunkanya obat atau metode pengobatan yang benar – benar teruji dalam menangani virus yang terus menyebar secara cepat. Maka Pemerintah sudah semestinya segera bergerak cepat dalam memperbaiki data kependudukan untuk memastikan penyaluran bantuan sosial benar-benar efektif dan tepat sasaran.
Belajar dari banyaknya kritik dan persoalan yang terjadi selama pemberian bantuan sosial di masa pandemi Covid 19, sangat penting bagi pemerintah untuk segera melakukan pembaharuan tata kelola sistem pendataan, dengan melakukan percepatan sinkronisasi data antara pusat dan daerah untuk menghindari terjadinya tumpang tindih data, apalagi dalam era digitalisasi yang sangat memudahkan dalam proses verifikasi dan validasi serta komunikasi.
Verifikasi dan sikronisasi data ini juga diharapkan akan dapat memperbaiki kualitas data penerima bantuan reguler ( PKH, Dll ) yang bermasalah sebelum pandemi, sekaligus pemutakhiran data bagi warga yang terdampak pandemi corona, karena banyak masyarakat yang terdampak corona namun tak terdata dalam pendataan penerima bantuan reguler sebelumnya, terutama korban PHK, UMKM dan pekerja informal yang berhenti beroperasi dan bekerja dimasa pandemi.
Seluruh jajaran Pemerintah dari level pusat hingga ke lingkungan diharapkan dapat bergerak efektif dan efisien dalam melakukan verifikasi dan validasi data penerima bantuan, tanpa ada yang terlewatkan. Dan tentunya proses pendataan ini harus menjujung tinggi nilai kejujuran, integritas dan keterbukaan, agar tidak kembali melakukan kesalahan yang berulang.
Karena kekacauan pendataan merupakan masalah klasik yang sejak dulu selalu menjadi persoalan, bahkan dari PEMILU ke PEMILU, dari bencana ke bencana. Kacaunya sistem pendataan, tentunya tidak lepas dari ketiadaan integrasi data antara pemerintah pusat dengan daerah.
Pentingnya Akurasi Data
Keakuratan data hasil verfikasi dan validasi, juga akan sangat berfungsi dalam menata ulang tata penyaluran bantuan, jenis bantuan yang dibutuhkan, jika akurasi data mampu menjangkau hingga kepekerjaan, sumber ekonomi, dan kebutuhan utama dari masyarakat penerima bantuan. Sehingga bantuan tidak harus universal dalam bentuk paket sembako atau uang tunai semata.
Akurasi data juga akan sanat memungkinkan pemerintah menimbang ketepatan dan efektivitas jenis bantuan yang sangat dibutuhkan, agar masyarakat mampu bertahan. dengan ketepatan identifikasi kebutuhan yang sangat diperlukan untuk melanjutkan roda perekonomian keluarga ditengah pandemi Covid 19 yang belum kunjung usai ini.
Mendesakkan perbaikan mutu dan kualitas sistem pendataan merupakan salah satu pokok persoalan yang menjadi agenda utama dalam tujuan reformasi birokrasi, reformasi birokrasi dengan jelas mengamanatkan peningkatan kualitas pelayanan publik dengan menempatkan kebutuhan warga negara sebagai panglima adalah alat ukur utama dalam sistem pelayanan publik negara.
===
Penulis Direktur Eksekutif Perhimpunan Suluh Muda Indonesia (SMI)/penggiat HAM dan Demokrasi
===
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPG), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan sebaiknya tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]