Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
20 Mei 1908 dianggap sebagai momentum bangkitnya kesadaran kaum terdidik Indonesia, yang dimulai dari mahasiswa kedokteran STOVIA untuk menjadi bangsa merdeka yang lepas dari belenggu penindasan kolonialisme, kesadaran untuk menyatukan sekian banyak perjuangan yang bersifat lokal dan parsial selama ratusan tahun. Kesadaran yang lahir dari kegelisahan kaum terdidik dalam menyaksikan tindakan sewenang–wenang dan penghisapan yang melahirkan kebodohan, kemiskinan dan kesengsaran. Kegelisahan yang melahirkan keberanian sampai pada titik pemikiran perlunya kebangkitan jiwa dan pikiran untuk menentang berbagai praktek kolonialisme yang merendahkan kemanusiaan.
Kegelisahan yang kemudian disalurkan menjadi energi dalam berbagai langkah pergorganisasian sebagai ruang pendidikan masyarakat, ditandai dengan lahirnya Organisasi Boedi Oetomo, Indische Partij dan Sarekat Dagang Islam ( SDI ), yang kemudian berkembang menjadi organisasi pergerakan dengan nama politik Sarekat Islam (SI).
Momentum kesadaran yang akhirnya pada 20 tahun kemudian melahirkan tonggak persatuan dari sekian ribu perbedaan dalam peristiwa Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, dan akhirnya membuka lembaran baru kemerdekaan sebuah bangsa dan perubahan nama dari Hindia Belanda menjadi Republik Indonesia. Sebuah kemerdekaan yang tidak bisa dilepaskan dari rasa senasib dan sepenanggungan yang memunculkan persaudaraan sebagai sebuah bangsa.
Mengabaikan Nation Character Building
Setelah 112 tahun berlalu, ternyata semangat pembangunan jiwa bangsa atau yang sering disebut dengan Nation Character Building, yang merupakan hal terpenting dan mendasar dalam pemikiran para kaum terdidik di tahun 1908 itu, seperti terlupakan dan hanya menjadi seremonial tanpa makna dalam kurun waktu yang begitu panjang.
Dengan jargon Revolusi Industri 4.0 di era millenium, kita seperti lupa dan mengabaikan makna pembangunan jiwa bangsa. Pembangunan lebih didefinisikan dengan pembangunan gedung, infrastruktur, ekonomi, industri dan masuknya investasi modal. Padahal, sejarah telah menjelaskan bahwa kekuatan sebuah bangsa sangat ditentukan dari bangunan karakter, terdidiknya sumber daya manusia, mumpuninya mentalitas dan etos kerja dalam mengelola sumber daya bangsa.
112 tahun berlalu, seperti berlalunya agenda pembangunan jiwa bangsa, rasa senasib sepenanggungan yang melahirkan persaudaraan, digantikan dengan ambisi dan keserakahan, hingga penguatan sentimen suku, ras dan agama untuk menjadi yang terkuat, terbesar dan terutama. Sentimen yang tumbuh subur bersama praktek korupsi, kolusi dan nepotisme, hingga mengerogoti rasa keadilan dan kemanusiaan yang pernah menjadi pematik kegelisahan kaum terdidik 112 tahun yang lalu.
Situasi yang membuat banyak anak bangsa dan generasi muda tumbuh menjadi generasi yang kehilangan dan tidak mengenal jati dirinya, kondisi yang cepat atau lambat akan menghilangkan bentuk dan ukuran kepribadian sebuah bangsa. Menjadi bangsa yang sangat konsumtif dengan budaya, perilaku hingga watak bangsa di luarnya.
Kehilangan karakter dan kepribadian sebagai sebuah bangsa sangat terlihat dari rentannya kondisi sosial politik indonesia belakangan ini, sering sekali bermunculan permasalahan kesukuan, agama dan ras yang mengarah kepada perpecahan, masalah yang selalu berulang dan pada akhirnya akan melahirkan gugatan terhadap persatuan.
Kesadaran bahwa proses kemerdekaan lahir dari kebangkitan persatuan yang melahirkan semangat kebangsaan seperti hilang, di tengah kemajuan teknologi yang berkembang pesat dan perlombaan eksploitasi lintas negara. Indonesia lebih disibukan dengan pertengkaran suku, ras dan agama, pertikaian politik tanpa kemanusiaan, dan simbolisasi tanpa pemaknaan, secara sadar atau tidak, semakin banyak yang mengingkari kemajemukan, mengadopsi budaya asing hingga memimpikan pergantian bentuk negara.
Peringatan Hari kebangkitan Nasional dalam masa pandemi Covid 19 ini, mungkin bisa menjadi momentum untuk merevitalisasi pembangunan karakter bangsa, tiga bulan masa pandemi yang melahirkan berbagai kesulitan dan keterpurukan dalam kehidupan sosial serta ekonomi, seharusnya menjadi pengingat bahwa kesolidan persatuan dan persaudaran antar suku, ras dan agama adalah pondasi bangsa dalam menghadapi segala peristiwa.
Masa pandemi seperti menjelaskan bagaimana berbagai kelemahan bangsa dan negara, dari sistem data bantuan sosial yang kacau, kedisiplinan dan integritas yang sangat rendah, kesimpang siuran peraturan, hingga menguatnya ego politik dan ekonomi, dan ketidak mandirian bangsa, telah menjadi rentetan persoalan yang tidak kunjung terselesaikan.
Indonesia seperti kehilangan rancang-bangun kehidupan berbangsa dan bernegara, kehilangan peranan yang harus diambil negara sebagai penerima mandat dari masyarakat, hingga kehilangan panduan untuk menjadi bangsa yang berakar pada penghormatan akan kemanusiaan dan keberagaman.
Revitalisasi Kebangkitan Nasional
Pemaknaan peringatan kebangkitan nasional dalam masa pandemi ini, sangat membutuhkan revitalisasi semangat persaudaran dan kebangsaan, moralitas, integritas, kejujuran dan konsistensi dari semua pihak dalam menjalankan negara dan kehidupan berbangsa, sebagai sebuah konsekuensi logis dalam menghadapi tantangan zaman dan ketertinggalan.
Tantangan yang kita hadapi sepanjang sejarah, adalah kesadaran soal identitas dan tujuan keindonesiaan. Jika 1908 adalah kesadaran persatuan sebagai jalan merebut kemerdekaan, maka saat ini adalah kesadaran persatuan untuk membebaskan bangsa dari ancaman Covid-19.
Virus yang tidak hanya memberikan ancaman penyakit, tapi juga ancaman terhadap kehidupan ekonomi dan sosial, yang bisa merambat kepersoalan yang lebih besar seperti politik dan keamanan sebagai wajah keutuhan dan tegaknya sebuah bangsa.
Jika tahun 1908, para kaum terdidik mampu melahirkan kebersamaan dalam wujud Sumpah Pemuda 1928, maka melawan pandemi tentunya juga menuntut kebersamaan jangka panjang, yang harus ditularkan dari level kepemimpinan nasional hingga daerah.
Sehingga masyarakat tidak lagi dipertontonkan dengan kebijakan masing–masing antar lembaga dan kementerian, antara pemerintah pusat dan daerah, yang menimbulkan kesan para pengelola negara yang saling cela, saling bersaing, saling memamerkan diri, hingga melahirkan polarisasi antar pendukung yang melahirkan perpecahan.
Dan yang terberat adalah kebangkitan untuk lepas dari penyakit korupsi yang merasuki budaya, ekonomi sekaligus politik. Penyakit yang merupakan warisan kolonialisme dan feodalisme, nan tumbuh subur mempengaruhi jalannya pemerintahan diberbagai jenjang hingga saat ini.
Penyakit yang dapat dilihat dari maraknya praktek suap jabatan dan aturan, makelar proyek oleh birokrasi rente, hukum yang tajam ke bawah, perdagangan pribadi dengan fasilitas negara, hingga pungutan liar yang tetap merajalela hingga kelapisan terbawah masyarakat, adalah cermin dari menguatnya nilai warisan kolonial yang ditentang pada 1908.
===
Penulis Direktur Eksekutif Perhimpunan Suluh Muda Indonesia (SMI)/penggiat HAM dan Demokrasi
===
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPG), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan sebaiknya tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]