Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Momentum mundurnya Soeharto dari kursi presiden pada 21 Mei 1998, dan naiknya Wakil Presiden Prof Dr BJ Habibie menjadi presiden, sebagai peringatan tersendiri bagi berbagai kalangan dengan penyebutannya sebagai “Hari Reformasi“. Peristiwa yang tentunya tidak lahir secara kebetulan.
Tuntutan perubahan terhadap orde baru yang dianggap menjalankan negara secara otoriter, totalite, dengan kekuatan oligarki ekonomi-politik, dimulai dari proses panjang sejak peristiwa Malapetaka 15 Januari 1974 (Malari ), Petisi 50, Peristiwa Kedung Ombo, Peristiwa 27 Juli 1996 dan banyak lainnya, hingga melahirkan sejarah reformasi
Pergantian presiden dan ditutupnya orde baru dengan mengusung agenda reformasi, seperti penegakan supremasi hukum, pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme ( KKN ), pengadilan Soeharto dan kroninya, pencabutan dwifungsi ABRI, pemberlakuan otonomi daerah untuk distribusi pembangunan dan keadilan, penuntasan pelanggaran HAM dan reforma agraria.
Agenda reformasi yang secara prosedural dan kelembagaan sudah mengalami beberapa perbaikan, seperti hadirnya sistem multi partai, kebebasan berserikat dan berpendapat, otonomi daerah, pemisahan Polri sebagai aparatur keamanan yang bersifat sipil dari aparatur militer, dan lahirnya beberapa lembaga demokras,i seperti Mahkamah Konstitusi (MK), Komisi Yudisial (KY), Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Termasuk banyaknya perubahan dalam struktur politik dengan mengedepankan perluasan partisipasi publik, seperti dalam pemilu dan pilkada secara langsung, dan kehadiran Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan yang paling terasa adalah perubahan struktur kekuasaan negara dari executive heavy (kekuatan eksekutif ) menjadi legislative heavy (kekuatan legislative ) tanpa perubahan sistem presidensialisme.
Reformasi telah memberi kewenangan luar biasa kepada lembaga legislatif, bukan sekadar melakukan kontrol terhadap kewenangan eksekutif, melainkan ikut langsung dalam menentukan pengisian jabatan penting, seperti Kapolri, Panglima TNI, Gubernur BI dan pejabat negara lainnya. Dengan besarnya kekuasaan legislatif tidak jarang terlihat DPR menyandera putusan presiden atau terjadinya negosiasi berkepanjangan.
Reformasi yang Terkebiri
Era reformasi setelah 1998 ternyata juga melahirkan banyak persoalan, yakni kasus pelanggaran HAM yang masih saja terjadi, seperti kasus Abepura, Wasior-Wamena, pembunuhan Theys Hiyo Eluay, pembunuhan aktivis HAM Munir Said Thalib, penerapan darurat militer di Aceh, perampasan tanah dan penggusuran rakyat, hingga praktek Korupsi yang merajalela.
Persoalan KKN yang menjadi salah satu kritik utama terhadap orde baru justru seperti berjalan di tempat walaupun sudah melahirkan KPK. Berdasarkan penilaian di tingkat global, hasil survei Corruption Perception Index (CPI) di tahun 1998, Indonesia menempati urutan ke-80 dari 85 negara yang disurvei dengan skor 20. Tahun 2008 naik 26, dengan menempati posisi ke-126 dari 180 negara yang disurvei. Tahun 2019 naik 40 dan berada di peringkat, 85 dari 180 negara yang disurvei, jauh dari dari skor 100 yang dipersepsikan bersih dari korupsi.
Lambatnya pemberantasan korupsi hingga kini dapat terlihat dari semakin maraknya praktek korupsi dan penyalahgunaan kewenangan, bahkan melanda generasi muda di berbagai jenjang jabatan, yang diringi dengan buruknya agenda penegakaan supremasi hukum, dengan banyaknya persoalan jual beli perkara di lembaga penegak hukum, atau yang sering disebut sebagai industri hukum.
Sudah berulangkali para penegak hukum, seperti hakim, jaksa dan polisi terjerat dalam kasus korupsi dan peyalahgunaan kewenangan, dari penegak hukum didaerah hingga ke pusat, seperti aparatur Mahkamah Agung, Hakim Konstitusi, Mabes Polri dan kejaksaan.
Secara struktur sosio-ekonomi dan sosio-kultural juga tidak terjadi banyak perubahan, distribusi sumber daya alam dan agraria masih mengalami ketimpangan yang tinggi, sementara pelaksanakan otonomi daerah, yang diharapkan sebagai jalan untuk mendristibusikan kewenangan pembangunan dan pemerataan keadilan, justru seperti melahirkan praktek oligarki dan raja kecil di daerah.
Desentralisasi sebagai kritik terhadap praktek sentralisasi pada zaman orde lama dan orde baru yang terkesan jawasenteris dalam pembangunan, saat ini justru mengalami penguatan oligarki di tingkat lokal. Penguatan oligarki dari lokal hingga nasional yang lebih disebabkan karena perubahan struktur kelembagan yang tidak diikuti dengan perubahan tatanan ekonomi dan politik.
Tatanan politik klientisme atau politik patronase dan patrimonialisme yang menjadi pondasi orde baru, justru tetap subur berkembang, praktek politik uang dan premanisme politik sering menjadi strategi para politisi untuk meraih suara dan memenangi kontestasi demokrasi. Hal ini terlihat dari tingginya praktek politik uang, dagang suara, perjanjian pada kelompok atau organisasi, dan perjanjian proyek.
Praktek politik klientelisme yang tak sekadar hubungan individual atau kelompok pemilih dengan politisi atau broker, tapi juga melalui institusi, seperti fenomena dukungan politik suatu kelompok atau media terhadap calon tertentu, dan menjadikan oligarki lama bertahan serta membentuk jejaring oligarki baru hingga ke tingkat lokal.
Sehingga salah satu penyebab banyaknya korupsi lewat demokrasi dagangan yang dilakukan oleh kepala daerah atau pejabat, adalah dengan cara melakukan dagang proyek, dagang jabatan, dagang ijin tambang, usaha dan bangunan, yang berada di kewenangannya, situasi di atas menjelaskan bahwa agenda reformasi telah mengalami distorsi dan dis-orientasi, bahkan terkebiri.
Reformasi yang diharapankan melahirkan demokrasi substansial yang responsif, sebagai jalan untuk mendistribusikan keadilan sosial dan responsif terhadap masalah atau kepentingan publik, justru mengalami penyumbatan karena terjebak untuk melayani kepentingan ekonomi-politik para oligarki.
Tugas Berat Reformasi
Mungkin kata “reformasi yang terkebiri“ banyak yang tidak setuju. Namun tuntutan reformasi setelah 22 tahun membutuhkan parameter atau alat ukur keberhasilannya, sudah sejauh mana proses pencapaian target, sasaran dan tujuannya? Sudah seperti apa realisasi supremasi hukum, penghapusan praktek korupsi, dan distribusi keadilan serta kesejahteraan?
Selalu beralibi dengan masa transisi, atau aktivis 1998 tidak memperoleh hak istimewa dalam pemerintahan setelah reformasi, seperti aktivis 1996, tentunya bukanlah alat ukur yang menjadi permasalahan adalah bagaimana mengukur komitmen dan konsistensi serta langkah konkret dalam mendorong pencapaian agenda reformasi itu sendiri ? menjadi pertanyaan kritis sekaligus kritik dan otokritik selama 22 Tahun.
Persoalan yang selalu menjadi kritik dari generasi 1966, 1998 hingga sekarang adalah bagaimana menghadirkan negara yang mampu menjamin sistem pemerintahan akuntabel dan responsif, perlindungan hak warga negara oleh negara, serta penegakan hukum utuk mewujudkan keadilan secara nyata, sejak Reformasi 1998 sudah terlalu banyak politisi dan penegak hukum yang dihukum karena korupsi dan masalah pidana lainnya.
Namun belum juga mewujudkan demokrasi substantif yang mensyaratkan agar kesenjangan sosial, ekonomi maupun politik bisa direduksi semaksimal mungkin, dengan memaksimalkan peluang, kesempatan, dan hak bagi masyarakat yang paling tertinggal. Dengan kata lain, keberpihakan kepada yang terlemah masih saja jadi pertanyaan setiap tahunnya.
===
Penulis Direktur Eksekutif Perhimpunan Suluh Muda Indonesia (SMI)/penggiat HAM dan Demokrasi
===
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPG), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan sebaiknya tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]