Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Wabah virus Corona atau COVID-19 yang menjadi momok bagi masyarakat dan pemerintah sejak diumumkan pertama kali pada awal Maret 2020 hingga saat ini, telah memakan banyak korban, bahkan melumpuhkan berbagai aktivitas termasuk pendidikan, ekonomi, sosial dan politik. Peringatan Kelahiran Pancasila 1 Juni dalam masa pandemi ini, mungkin bisa menjadi momentum refleksi, dari implementasi Pancasila sebagai sebuah ideologi, apakah masih dominan sebagai kekuatan moral dan nilai. Apakah nilai kebijaksanaan, kemanusiaan, keadilan dan persatuan, masih mampu hadir dalam menghadapi pandemi COVID-19?
Wabah COVID-19 yang menyerang hampir semua permukaan bumi, termasuk hampir seluruh wilayah indonesia, seperti menjadi ujian bagi setiap manusia, bangsa dan negara, terutama kekuatan solidaritas dan soliditas kemanusiaan, keseriusan menciptakan keadilan, hingga ketahanan persatuan, dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sering menjadi dewa dalam kehidupan manusia.
Dalam waktu singkat COVID-19 telah mengubah pola dan tatanan hampir semua lini kehidupan masyarakat. Pertemuan umum dan interaksi fisik dibatasi, komunikasi jarak jauh, mulut dan hidung ditutup masker, sekolah dan bekerja dari rumah, hingga munculnya satuan gugus tugas di semua level pemerintahan, sebagai ikhtiar atau upaya menyelamatkan nyawa sendiri, mencegah penyebaran kepada orang lain dan menjaga kelangsungan hidup bersama.
Realitas Sosial dan Karakter yang Mengemuka
Dari sekian banyak cara masyarakat dalam menyikapi COVID-19, sebenarnya merupakan representasi dari eksistensi Pancasila dalam berbagai relung kehidupan dan nurani manusia Indonesia, dari berusaha saling memberi sebagai bentuk solidaritas, mengutamakan kenyamanan pribadi, mencari keuntungan dalam bencana, hingga manipulasi bantuan yang berbau korupsi.
Sejak awal masa pandemi, terlihat bagaimana aksi borong atau penimbunan sembako, hilangnya masker, hand sanitezer, disinfektan dan alat perlindungan diri para medis, sampai penolakan penguburan jenazah yang disinyalir terpapar virus COVID-19. Termasuk kekacauan data dan distribusi bantuan sosial yang dianggap penuh aroma korupsi, telah menjadi catatan kelam, begitu juga peristiwa pengusiran tenaga medis yang bekerja menangani korban COVID-19 dari tempat kost.
Banyaknya catatan sikap dan tindakan yang tidak menghargai hak asasi, keberlangsungan hidup, hingga air mata sesama anak bangsa, dengan berbagai alasan keselamatan pribadi dan golongan yang menghilangkan nilai kemanusiaan, tentunya melahirkan pertanyaan, apa bedanya sikap dan tindakan kita dengan pihak kolonial yang tidak menghargai keberadaan manusia Indonesia ?
Pancasila yang merupakan saripati dari wujud dan karakter bangsa yang diperas dari sejarah perjalanan, ragam kultur dan budaya serta agama yang ada di Indonesia, dalam bentuk nilai atau norma utama yang menjadi way of life (jalan hidup), saat ini kembali mendapatkan ujian yang berat.
Cermin nilai Ketuhanan yang menjadi sila pertama, seperti menguap di udara karena banyaknya praktek korupsi, kolusi, hingga suap menyuap yang begitu massif merasuk di hampir semua sektor pemerintahan, begitu juga dengan tindakan penyalahgunaan kewenangan yang dilakukan oleh apparatur negara.
Nilai Kemanusiaan yang seharusnya tercermin dari semangat solidaritas dan soliditas sebagai sesama manusia serta melahirkan kesadaran persatuan, sampai penghormatan terhadap nilai kejujuran dan integritas sebagai perwujudan nilai Ketuhanan, terasa sangat jauh dalam beberapa tahun belakangan ini.
Pengingkaran nilai kemanusiaan dan keadilan lewat praktek korupsi, kolusi dan nepotisme secara terus menerus, tentunya hanya akan melahirkan ketimpangan ekonomi, sosial dan budaya antar kelompok dan daerah, hingga memberikan jalan pada penguatan oligarkhi terhadap beberapa gelintir orang atau kelompok.
Ketika ketimpangan semakin melebar dan oligarkhi semakin menguat akibat berbagai tindak penyelewengan dan saling sandera kesalahan oleh para pengelola negara, maka kecemburuan antar suku, agama, ras dan daerah juga sangat mungkin meningkat, dan tentunya akan berpotensi memunculkan gugatan terhadap persatuan yang merupakan pondasi keberadaan indonesia.
Situasi ini diperburuk dengan praktek politik klientisme atau politik patronase dan patrimonialisme yang menjadi ladang subur berkembangnya, praktek politik uang dan premanisme politik berjubah organisasi sebagai strategi untuk memenangi kontestasi demokrasi, dengan memaknai demokrasi sebatas pertarungan menang kalah, tanpa mempertimbangkan dampak penguatan polarisasi di tengah kehidupan bangsa.
Polarisasi dalam kehidupan sosial, agama dan politik menjadi fenomena hampir dalam setiap hajatan politik yang cepat atau lambat, bisa berujung pada konflik horizontal antar sesama saudara sebangsa, seperti fakta yang terjadi dibanyak negara, bahwa mengerasnya polarisasi terbukti lebih efektif menghancurkan sebuah bangsa dari pada konflik yang dihasilkan dari perang internasional atau agresi militer.
Sikap dan tindakan politik menang kalah dalam arena demokrasi ini, akhirnya menular dan termanifestasi melalui sikap hidup warga yang mementingkan diri sendiri, hingga menimbulkan praktek penimbunan barang, mengabaikan keselamatan dan keberlangsungan hidup sesama, hingga penolakan terhadap tenaga medis dan jenazah yang dianggap terpapar COVID-19.
Gambaran realita sosial yang merupakan indikator kuat, untuk melihat tingkat ikatan emosional, moralitas, solidaritas dan identitas, hingga keadaban sebuah bangsa, terutama jika dikaitkan dengan lima sila Pancasila sebagai panduan nilai kehidupan yang diaplikasikan sehari-hari.
Melihat Kembali Pancasila
Sebagai ideologi yang menjadi representasi dari nilai ketuhanan, kemanusiaan dan keadilan, tentunya gambaran perilaku aparatur negara dan warga yang telah mendarah daging, hingga menjadi watak, merupakan cermin utama dari berjalan atau tidaknya Pancasila. Pancasila yang sangat menyakini keimanan manusia terhadap Tuhan yang Maha Esa, memiliki salah satu nilai yang paling utama, yakni mengasihi sesama manusia, yang dalam praktek kehidupan, muncul dari nilai kemanusiaan, yang menjunjung tinggi dan melindungi hak asasi, menghargai perbedaan dan keberagaman.
Manifestasi nilai ketuhanan dan kemanusiaan adalah jalan untuk memaksimalkan berprosesnya nilai keadilan, yang mensyaratkan pengurangan ketimpangan ekonomi, sosial, budaya dan politik. Dengan memaksimalkan perlindungan, peluang dan kesempatan berkembang bagi masyarakat yang paling tertinggal atau yang terlemah, sehingga keadilan dalam pengertian pancasila, sangat berbeda dengan adil dalam pengertian semua harus sama.
Jika tiga nilai Pancasila diatas dalam dijalankan dengan baik, pancasila mungkin tidak hanya sebatas jargon atau kata dalam konstitusi, tapi menjadi sikap, tindakan dan nilai yang menjadi gambaran watak masyarakat dan appartus negara dalam menghadapi pandemi COVID-19 dan guncangan lainnya.
===
Penulis Direktur Eksekutif Perhimpunan Suluh Muda Indonesia (SMI)/penggiat HAM dan Demokrasi
===
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan sebaiknya tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]