Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Seperti biasa setiap tahunnya, 1 Juni diperingati sebagai Hari Pancasila. Hari Kesaktian Pancasila. Dasar sejarah penentuan 1 Juni sebagai Hari Pancasila tak terlepas dari pidato monumental Ir Soekarno dalam Sidang BPUPKI tahun 1945. Menengok kembali sejarah lahirnya Pancasila tersebut, dimulai tahun 1945 ketika Muhammad Yamin dan Ir Soekarno mempersoalkan filosopi negara yang akan dibentuk. Saat itu, rumusan dasar negara yang diusulkan sangat sederhana, terutama oleh Soekarno, yakni Ketuhanan yang Maha Esa, Nasionalisme, Internasionalisme, Demokrasi dan Sosialisme. Bahkan kedudukan Ketuhanan pertama kali ditempatkan pada urutan kelima. Namun dalam perkembangan selanjutnya, Pancsila ditetapkan kemudian seperti terdapat dalam pembukaan UUD 1945, yaitu Ketuhanan yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan dan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Kenyataan bahwa Pancasila diterima oleh para founding fathers kita menunjukkan bahwa Pancasila bukan tersusun dalam ruang hampa. Pancasila telah ditetapkan sebagai dasar negara yang dengan demikian juga berarti menjadikan Pancasila sebagai dasar dari segala sistem nilai yang menuntun kehidupan bernegara.
Namun saat ini, pemahaman dan pengamalan Pancasila sebagai dasar dan pandangan hidup berbangsa kian pudar. Apalagi setelah bergulirnya era reormasi. Sejak runtuhnya orde baru, membicarakan Pancasila saja dirasakan sebagian orang seperti membicarakan barang usang atau sejarah masa lalu yang sudah basi. Sesuatu yang sudah ketinggalan zaman.
Kenapa hal itu terjadi? Sesungguhnya, gaya pemaksaan pemahaman atau doktrinisasi Pancasila sesuai kehendak penguasa orde baru menjadi penyebabnya. Selama 32 tahun lebih, slogan ‘Melaksanakan Pancasila secara murni dan konsekuen’ telah dijadikan sebagai alat propaganda politik orde baru. Padahal, slogan-slogan tersebut tidak sesuai dengan kebijakan-kebijakan yang dijalankan penguasa orde baru. Hingga kemudian, ambruknya otoriter orde baru pada tahun 1998 menjadikan Pancasila mulai luntur dan ‘dilupakan’ bangsa Indonesia.
Jika dikaji lebih lanjut, ada beberapa hal yang menyebabkan Pancasila semakin luput dari ingatan orang Indonesia. Pertama, Pancasila sudah terlalu lama terseret dalam berbagai kepentingan politik yang menjadikan wajah Pancasila terkoyak-koyak seiring makin dibencinya rezim yang pernah menjadikannya sebagai alat politik. Kedua, norma-norma yang terkandung dalam Pancasila terkadang sulit untuk diterjemahkan menjadi kebijakan nyata. Contohnya, konsep ekonomi Indonesia. Kita selalu mengaku kalau sistem ekonomi Indonesia adalah sistem ekonomi Pancasila (sesuai amanah Pasal 33 UUD 1945). Kenyataannya, kebijakan-kebijakan ekonomi cenderung menganut paham-paham neoliberal yang terlalu memanjakan kepentingan-kepentingan kaum kapital. Lihat saja misalnya, banyak pasar tradisional yang digusur dan digantikan dengan supermarket, plaza atau mal. Akibatnya, banyak masyarakat kecil kehilangan mata pencaharian dan akhirnya jatuh dalam jurang kemiskinan. T
idak hanya itu, teranyar RUU Undang-Undang Cipta Kerja juga dinilai terlalu banyak menguntungkan pengusaha dan merugikan kaum buruh. Maka tak salah kalau banyak pihak beranggapan kalau Pancasila kini sudah tinggal nama karena manfaatnya sudah tidak mereka rasakan lagi dalam kehidupan sehari-hari. Kendala-kendala tersebut banyak menyurutkan langkah kita untuk menjadi garda terdepan dalam membela dan menegakkan Pancasila. Bahkan kini, banyak yang mulai mempertanyakan apakah Pancasila itu masih relevan dengan kehidupan Bangsa Indonesia yang menuju masyarakat global? Masih saktikah Pancasila dalam melindungi bangsa Indonesia dari ancaman-ancaman ideologi asing?
Menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, perlu dilakukan beberapa langkah, seperti, pertama, mengambil hikmah dari kesalahan masa lalu (orde baru). Jangan sekadar menyalahkannya. Pembelajaran pemahaman Pancasila yang diterapkan rezim terdahulu terkesan sekadar slogan. Pancasila dijadikan sekadar ayat hapalan atau materi penataran P4 yang terkesan seremonial itu. Pancasila sekadar dibacakan di setiap upacara bendera tanpa adanya usaha untuk lebih mengaplikasikannya dalam kehidupan nyata.
Orde baru sesungguhnya telah mereduksi makna Pancasila menjadi sekadar etika teoritik personal warga negara. Padahal, seharusnya Pancasila harus ditegakkan melalui kebijakan-kebijakan negara dalam berbagai bidang kehidupan. Dari kebijakan-kebijakan itulah nantinya dapat dimaknai apakah Pancasila telah berfungsi sebagai dasar negara atau sekadar kata-kata indah tanpa makna.
Kedua, pemetaan dan respons kita terhadap berbagai persoalan kebangsaan dan kenegaraan seharusnya berangkat dari pemahaman yang substansif tentang Pancasila sebagai dasar negara. Pemahaman seperti inilah yang menjadi dasar dan acuan dalam meraih masa depan bangsa yang lebih baik lagi.
Pancasila adalah ideologi bangsa yang masih layak dipertahankan. Pancasila dapat dijadikan sarana membangun harmonisasi antar komunitas, kelompok dan individu. Pancasila juga dapat jadi landasan untuk membangun kehidupan multikultural berkarakter Indonesia. Hanya dengan cara seperti itulah Pancasila dapat aktual dan selalu sesuai dengan perkembangan zaman. Relevansinya tentu dengan bagaimana nilai-nilai mendasar seperti sila kemanusiaan yang adil dan beradab dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia tersebut diaplikasikan dalam perilaku nyata kehidupan masyarakat. Pancasila saat ini bukan lagi sekadar diuji oleh rongrongan ideologi komunis atau liberalis, namun perlu diuji apakah ideologi Pancasila ini mampu mengeluarkan bangsa Indonesia dari jerat krisis multidimensional seperti pengangguran, kemiskinan dan perubahan karakter sosial.
Dengan begitu, Pancasila tidak dianggap hanya mengawang di ruang hampa sebaliknya justru hadir dan mampu membantu bangsa ini menyelesaikan kompleksitas masalahnya. Persoalannya sekarang, mampukah para elite bangsa menunjukkan sikap yang Pancasilais dalam bertindak? Karena bagaimanapun, sebagai publik figur, sesungguhnya merekalah yang menjadi panutan dan idola masyarakat untuk meraih masa depan yang lebih baik.
Sebab, pepatah mengatakan untuk melihat ikan yang masih segar atau busuk, lihatlah kepalanya. Jika kepalanya saja sudah busuk, maka dipastikan seluruh ikannya juga sudah busuk.
===
Penulis sarjana hukum (SH) dari Fakultas Hukum USU Medan dan Master of Laws (LL.M) dari Fakultas Hukum UGM Yogyakarta. Saat ini mengabdi sebagai dosen di hukum tata negara di Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen Medan.
===
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan sebaiknya tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]