Pilpres ternyata lebih bersinar dibandingkan dengan Pileg yang suram. Maklum, dua pasangan calon (paslon) Jokowi-Ma’ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno selalu muncul di televisi, media online dan cetak. Penuh greget dan perdebatan pula.
Syahdan, plot cerita film yang bagus itu adalah yang mendebarkan. Ya, bagaimana ending-nya? Ibarat sebuah perahu yang menyusuri sungai, sementara di depan telah menunggu air terjun. Apakah perahu akan luruh ke air terjun, atau selamat menepi sebelum tiba di air terjun?
Saya dan istri saya beda pilihan soal Capres-Cawapres. Saya mengidolakan pasangan calon (paslon) Anu, sementara istri saya memilih paslon Polan. Kami berdua tentu punya alasan yang berbeda.
Akhirnya engkau akan memilih presiden dan wakil presiden pada 17 April 2019. Engkau juga akan memilih wakil rakyat di tingkat pusat, provinsi dan kabupaten/kota. Engkau memang hebat karena engkau adalah “pangeran” demokrasi.
Siapa pula itu, Plato? Kok, berani-beraninya berpesan (kepada kita)? Aduhai, maaf pembaca. Bukan dia yang berpesan. Saya hanya merasa pendapat dia bisa juga menjadi “pesan” untuk kita, khususnya menjelang Pilpres dan Pileg 2019 pada 17 April mendatang.
“Siapa kira-kira yang menang ya dalam Pilpres dan Pileg?” tanya Porjan kepada Bargot saat kedua sohib itu berbincang di sebuah kafe di pojok kota ini. “Ah, pertanyaanmu salah. Mestinya yang kau tanya, siapa yang kalah,” sahut Bargot. “Lho, kok begitu?” tanya Porjan.
Golput ramai jadi cerita. Ada yang bilang Golput bukan WNI yang baik. Karena itu keluar saja dari Indonesia. Tapi ada yang bilang Golput itu hak. Bukan kewajiban.
Persaingan sengit. Contohnya, seribu tigaratusan calon anggota legislatif (Caleg) DPRD Sumatera Utara memperebutkan 100 kursi. Dus, 1.200-an caleg akan gagal. Sudahlah bersaing dengan caleg partai politik lain, juga berkompetisi dengan caleg separtai.
Saya ingin bercerita tentang Nicolae Ceaușescu. Presiden Rumania sejak 1970-an ini dilukiskan para pemujanya seorang yang sederhana dan meniti karir dari bawah. Bahkan, foto Nicolae dan istrinya, Elena Ceaușescu selalu ditampilkan saat berusia 40-an. Muda dan ceria.
Dikepung peta politik yang terbelah antara pendukung Jokowi dan Prabowo, saya teringat dendang Broery Marantika yang berjudul “Aku Begini Engkau Begitu.” He-he, di dalam tidur di dalam doa, mereka berjanji bersatu bergandeng tangan. Tapi di alam nyata, aduhai, “Aku begini engkau begitu.”
“Serangan Fajar” itu sesungguhnya peristiwa herois. Sebagaimana ditulis oleh Arifin C Noer, film dokumenter yang diproduksi pada 1982 itu, berkisah tentang penaikan bendera Merah Putih di Gedung Agung Yogyakarta. Lalu, penyerbuan markas Jepang di Kota Baru dan penyerbuan lapangan terbang Maguwo. Kemudian,serangan beruntun di waktu fajar di daerah sekitar Salatiga, ...