Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
MedanBisnis - Jakarta. Adenawar (47) tak putus asa, meski terpaksa tinggal di Rusun Pesakih sejak direlokasi. Ia rela berdagang berkeliling rusun untuk menjual mainan anak, bakso, dan martabak dari pagi hingga malam demi biaya sewa dan hidup keluarganya.
Ade hidup dengan dua anak dan seorang istri. Setiap bulan ia harus membayar sewa kamar seharga Rp 250 ribu di lantai 3 Rusun Pesakih. Belum lagi biaya sekolah anaknya yang bisa menghabiskan Rp 500 ribu per bulan, ditambah uang kebutuhan sehari-hari keluarga.
"Awal Maret 2015, saya, dua anak saya, dan istri saya direlokasi ke sini. Tempat bagus, nyaman, tapi bingung mau kerja apa. Beberapa kali saya keliling blok, survei apa yang bisa dijadikan usaha," kata Adenawar, yang digusur dari Tanah Abang, Karet Tengsin, Jakarta Pusat, pada 2015, di kawasan Rusun Pesakih, Jalan Daan Mogot, Jakarta Barat, Kamis (3/8/2017).
Ade pun mendapatkan ide. Bermodalkan Rp 300 ribu, ia menjajakan mainan anak-anak ke seluruh blok di rusun. Gayung bersambut, Ade pun mampu mencicil sebuah gerobak keliling dari warga rusun untuk memperbanyak jenis dagangannya.
"Karena memang tuntutan, kalau kembali ke Tanah Abang susah. Belum transpor, biaya makan lagi, mau jualan sembako sudah banyak. Timbul ide, ada tukang mainan masuk, saya juga jual mainan, saya kelola dengan baik, dan berkembang," ujar pria Batak beristri Jawa-Manado ini sambil tersenyum.
"Awalnya, kesulitan di modal, harus jual motor Tiger, dan nggak bisa nambah barang. Beberapa banyaklah yang bisa dipikul. Saya pun cicil Rp 50 ribu sebanyak tiga kali ke warga sini buat beli gerobak. Daripada nggak difungsikan," tutur dia.
Dalam sehari, Ade mengaku dapat meraih keuntungan hingga Rp 500.000. Bahkan dia sempat mendapatkan Rp 1.000.000 saat ada warga yang mengadakan hajatan. Sayangnya, pendapatan ini tak bertahan lama. Setiap hari semakin banyak pedagang bermunculan di kawasan rusun. Pendapatan Ade pun menurun drastis.
"Satu tahun nggak ada saingan, bisa Rp 500 ribu sehari, pangsa pasar saya banyak, setiap blok saya masuki, di mana-mana anak-anak ramai saya datang, apalagi kalau ada pesta," tutur dia.
Tak ingin melihat keluarganya kekurangan, Ade pun mulai mengembangkan usaha. Sambil menjual mainan, ia juga menjual bakso. Berawal dari satu gerobak, Ade kini mampu mempekerjakan dua rekannya menjual bakso di luar rusun.
"Saya beli gerobak Rp 4 juta lengkap dengan perlengkapannya, ini juga saya nggak mau berhenti. Saya juga punya dua anggota yang jual agar anak-istri saya bisa makan, setidaknya yang kecil-kecil nanti bisa sekolah dan kuliahlah," katanya bersemangat.
Seakan tak mudah berpuas diri, Ade nekat mengembangkan usaha dengan menjual martabak. Ia belajar dan menghabiskan Rp 5.000.000 untuk gerobak barunya. Bahkan ia masih memiliki cita-cita bisa memiliki setidaknya 10 gerobak lagi untuk mencari recehan.
"Jam 02.00 pagi saya sudah siap-siap berjualan, jam 06.00 sampai jam 11.00 jualan martabak. Baru sebulan ini. Sisanya, sampai jam 19.00 malam, jualan mainan sama bakso," tuturnya.
Malam ini pun dia berjualan dengan semangat. Lelah sudah bukan lagi jadi halangan dia menggapai mimpinya. Adenawar menunjukkan bagaimana seseorang tak boleh kalah oleh keadaan. Meski dipaksa pindah, tak berarti asa harus hilang."Bisa dapat Rp 500-700 ribu sehari omzetnya, untungnya bisa Rp 200-250 per harilah ke rumah, sudah lebih dari cukup untuk kita yang tinggal di sini. Aku sih masih ada mimpi bisa punya 10 gerobak lagi," katanya sambil sesekali meladeni pembeli. (dtc)