Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Sebagai salah satu bentuk kesenian rakyat, Opera Batak tidak hanya berfungsi sebagai media hiburan. Ia juga berperan sebagai kritik sosial atas berbagai persoalan yang terjadi di sekitarnya.
Di masa penjajahan, Opera Batak juga dijadikan alat perlawanan terhadap kolonialisme. Hal itu karena sifat Opera Batak yang tidak berjarak dengan lingkungan tempat ia berada. Cerita-cerita yang diangkatnya lebih sering merupakan realitas sosial yang sedang terjadi di masyarakat.
Salah satu teks perjuangan itu adalah “Pulo Batu” yang mengisahkan perlawanan Sisingamangaraja XII. Cerita Sisingamangaraja XII menjadi begitu populer. Naskah ini sering dipentaskan terutama di masyarakat yang menjadi basis perjuangan Sisingamangaraja XII.
Cerita yang tak kalah populernya adalah kisah Si Boru Tumbaga. Cerita ini mengangkat pahitnya nasib kaum perempuan terutama dalam pembagian harta warisan.
Tidak seperti pertunjukan teater modern, teks-teks yang dipentaskan dalam Opera Batak tidak tercatat detail. Para pemain hanya diberikan satu cerita berikut endingnya. Mereka dibebaskan berimprovisasi lewat dialog dan karakter. Hal inilah yang membuat pertunjukan Opera Batak begitu cair bagi penontonnya.
Meski naskah yang dimainkan mengangkat tema-tema yang serius, tetapi karena pengungkapannya yang cenderung kocak, membuat pertunjukan itu tidak membosankan. Tetapi di sisi lain, karena naskahnya tidak dicatat, teks-teks itu jadi hilang begitu saja.
Seperti diketahui, tokoh sentral Opera Batak yang paling dikenal adalah Tilhang Gultom. Ia adalah seorang seniman yang berhasil mengadopsi Opera Musikal dari Eropa ke dalam warna Batak Toba.
Tilhang Gultom menjadi pioner sekaligus satu-satunya tokoh Opera Batak yang dikenal hingga sekarang ini. Puncak kejayaan Opera Batak terjadi di tahun 1920-an.
“Pada tahun 1970-an, Opera Batak mulai ditinggalkan. Masyarakat mulai beralih ke televisi. Tilhang tidak hanya menciptakan teks-teks Opera Batak tetapi juga menciptakan ratusan reportoar musik Batak Toba,” kata Direktur Pusat Latihan Opera Batak (PLOt) Thompson Hs.
Dari pengalamannya merintis kembali Opera Batak di tahun 2002, kesulitan yang paling terasa adalah mengumpulkan teks-teks yang pernah dipentaskan itu. Selain tidak ada sumber tertulis, para pemain Opera Batak pimpinan Tilhang Gultom, yang masih eksis berkesenian, hanya tinggal satu-dua orang saja.
Dua di antaranya adalah Zulkaedah Harahap dan Alister Nainggolan yang juga telah meninggal dunia belum lama ini. Keduanya pun sempat mendapat gelar maestro seni tradisi dari Sumatera Utara dari pemerintah pusat.
Militansi
Para pegiat Opera Batak di masa Tilhang adalah seniman-seniman militan. Mereka adalah anak-anak panggung yang sudah terlatih berpentas keliling. Tidak jarang mereka harus meninggalkan keluarganya selama berbulan-bulan. Tak jarang adapula yang menemukan jodohnya di panggung.
Di masa Tilhang, para seniman Opera Batak juga dituntun mampu menguasai berbagai bidang seni. Tidak hanya jago berlakon, tetapi juga terampil menari, bernyanyi dan juga memainkan alat musik. Karenanya tidak heran bila para pemain Opera Batak di masa lalu, terbentuk menjadi seniman yang multitalenta.
Beberapa nama yang menonjol, antara lain Zulkaedah Harahap, Alister Nainggolan, Marsius Sitohang, Guntur Sitohang. Selain aktor dan aktris, mereka juga adalah pemusik tradisi Batak yang profesional.
Prinsip yang ditekankan dalam PLOt juga tidak jauh berbeda dengan di masa Tilhang Gultom. Seperti diakui Thompson Hs, para pemainnya dilatih untuk mandiri dan terampil dalam berbagai bidang seni. Selain itu mereka juga dibentuk untuk peka dengan situasi sosial dan lingkungan tempat mereka berada.
Lewat PLOt mereka mengkritisi situasi yang sedang berkembang, terutama di dalam kehidupan masyarakat Batak.
Misalnya dalam beberapa tahun ini PLOt konsen pada upaya-upaya pemulihan Danau Toba, baik dari sisi ekologis maupun yang berkaitan dengan manusianya. Hal itu mereka tunjukkan lewat dengan menggelar pertunjukan “Perempuan di Pinggir Danau” karya Lena Simanjuntak yang telah beberapa kali dipentaskan di dalam negeri dan di Jerman.
Lewat naskah “Perempuan di Pinggir Danau”, PLOt menyoroti keserakahan manusia, khususnya orang Batak dalam mengeksploitasi Danau Toba.
“Naskah yang telah dibukukan dan dialihbahasakan dalam bahasa Inggris, Jerman, Batak Toba ini merupakan komitmen dan tanggung jawab mereka sebagai seniman yang berakar dari budaya Batak Toba,” kata Thompson.
Karenanya setiap manggung, Thompson Hs juga memberikan kebebasan bagi pemainnya untuk menciptakan sendiri dialog-dialognya. Yang terpenting adalah pesan yang ingin disampaikan benar-benar sampai kepada penonton.