Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
MedanBisnis - Jakarta. Bank Indonesia (BI) hari ini akan menggelar rapat dewan gubernur (RDG) triwulanan. Salah satu agendanya adalah menentukan tingkat suku bunga acuan atau 7 days repo rate.
Ekonom The Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira Adhinegara memprediksikan BI 7 days repo rate akan dipertahankan di posisi 4,75%.
"Bank Indonesia diprediksi masih menahan suku bunga acuan. Belum akan menurunkan karena tekanan eksternal yang masih cukup besar," kaa Bhima, Selasa (22/8).
Dia menjelaskan tekanan eksternal utamanya masih disebabkan oleh kondisi geopolitik di semenanjung Korea yang dapat memicu aliran modal keluar.
"Dalam sesi penutupan Senin (21/8) misalnya isu Trump dan Korea membuat bursa saham di kawasan Asia ditutup merah. Selain itu ada resiko ketidakpastian kenaikan suku bunga acuan Bank Sentral AS atau Fed Rate. Hasil rapat dewan gubernur bank sentral AS masih terbelah antara segera menaikkan Fed Rate atau menunda karena data ekonomi AS masih mix," ujar dia.
Namun peluang penurunan suku bunga masih terbuka karena inflasi yang di bawah target. Rendahnya inflasi karena sebagian administeted price sudah disesuaikan dari awal tahun salah satunya penyesuaian listrik 900 va.
Dia menjelaskan untuk nilai tukar rupiah dalam sebulan terakhir sedikit tertekan tapi masih dalam batas normal.
Dia mengatakan saat ini pasar masih menunggu kejelasan rencana pelonggaran moneter yang akan dilakukan oleh Bank Indonesia.
"Diharapkan bentuk pelonggaran moneter tidak dilakukan secara parsial melainkan berbentuk paket kebijakan moneter," ujarnya.
Kebijakan yang diharapkan dilonggarkan adalah 7 days repo rate diturunkan sebesar 25 basis poin secara gradual, kemudian GWM diperlonggar dan Loan to Value (LTV) dinaikkan antara 90-95%.
"Jika dilakukan secara bersamaan dampak ke sektor riil dan daya beli cukup signifikan," ujar dia.
Ekonom PT Bank Central Asia Tbk (BCA) David Sumual memprediksikan BI akan tetap menahan suku bunga acuan. Dia menilai, penurunan bunga acuan bukan obat mujarab untuk pertumbuhan.
"Memang ada ruang untuk penurunan jika dilihat dari inflasi yang bagus, rupiah yang stabil, tapi penurunan bunga bukan obat mujarab," kata dia.
Dia menjelaskan, negara lain seperti India baru saja menurunkan suku bunga acuan dan direspon positif oleh pasar. Namun untuk Indonesia dibutuhkan stimulus lain seperti fiskal.
"Daripada bunga lebih baik stimulus fiskal," ujarnya.
Ekonom PT Bank Permata Tbk Josua Pardede memproyeksikan BI malah akan melonggarkan kebijakan makroprudensial bukan kebijakan moneter.
Dia mencontohkan seperti kebijakan loan to value (LTV) yang berpeluang dilonggarkan. Jika dilakukan maka bisa meningkatkan permintaan kredit.
"Jika yang dilonggarkan makroprudensial maka bisa mendorong konsumsi untuk tumbuh," ujar Josua. (dtf)