Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
MedanBisnis - Jakarta. Perusahaan tambang India Metals and Ferro Alloys Limited (IMFA) menggugat ganti rugi US$ 581 juta atau sekitar Rp 7,7 triliun kepada pemerintah Indonesia, lewat arbitrase internasional. Gugatan tersebut masuk pada 23 September 2015 lalu.
Kasus ini terjadi akibat tumpang tindih lahan Izin Usaha Pertambangan (IUP), berawal dari pembelian PT Sri Sumber Rahayu Indah oleh IMFA pada 2010. PT Sri memiliki IUP untuk batu bara di Barito Timur, Kalimantan Tengah (Kalteng).
Investor asing asal India tersebut merasa rugi karena telah menggelontorkan uang US$ 8,7 juta untuk membeli PT Sri, tapi tak bisa melakukan penambangan karena ternyata IUP di lahan seluas 3.600 hektar yang dimiliki PT Sri tidak Clean and Clear (CnC). IUP mereka tumpang tindih dengan IUP milik 7 perusahaan lain.
Atas dasar itu, IMFA menuntut ganti rugi dari pemerintah Indonesia senilai US$ 581 juta alias Rp 7,7 triliun. Menurut perhitungan mereka, potensi pendapatan yang hilang (potential loss) akibat tidak bisa menambang batu bara ditambah investasi yang sudah mereka keluarkan mencapai Rp 7,7 triliun.
Kini gugatan sedang berproses di arbitrase. Pada 11 Mei 2017 lalu, IMFA dan pemerintah telah menghadiri prosedural hearing di Denmark untuk menentukan peraturan dan jadwal-jadwal selanjutnya. Permanent Court of Arbitration (PCA) dipilih sebagai badan untuk penyelesaian sengketa karena adanya perjanjian Bilateral Investment Treaty (BIT) antara Indonesia dan India.
Untuk menghadapi gugatan IMFA, pemerintah Indonesia menyewa pengacara dari dalam dan luar negeri. Yaitu ahli arbitrase dari Simmon & Simmon, Stuart Butson, dan dari dalam negeri adalah Teddy Anggoro (Fams & P).
Teddy menyatakan, pemerintah berpeluang besar menang, karena gugatan IMFA tidak kuat. Perusahaan tambang itu tidak memenuhi berbagai persayaratan-persyaratan administrasi, termasuk persyaratan sebagai Penanaman Modal Asing (PMA) di Indonesia.
"Banyak hal-hal administrasi yang belum mereka selesaikan. Kalau mereka mau menambang, IUP harus dilengkapi dengan berbagai izin seperti izin pemakaian hutan, ketika kepemilikan asing masuk ke PT Sri maka dia harus jadi PMA, ada syarat-syarat yang belum dipenuhi," ujar Teddy, Selasa (21/8).
Saat melakukan investasi di Indonesia, IMFA juga harusnya melakukan pengecekan dulu dan melengkapi berbagai persyaratan. Menurut Teddy, IMFA dapat digolongkan sebagai 'spekulan investor' karena investasinya bersifat spekulasi, mengincar keuntungan dengan coba-coba.
IMFA mengakuisisi PT Sri dengan nilai hanya Rp 5 miliar lalu menggugat pemerintah Rp 7,7 triliun. Dalam BIT yang disepakati pemerintah Indonesia dan India serta Undang Undang PMA, spekulan investor tidak termasuk sebagai investor yang perlu dilindungi.
"Di BIT dan UU PMA, spekulan investor tidak termasuk yang harus dilindungi," ucapnya.
Sekarang pemerintah sedang mengumpulkan bukti-bukti untuk menunjukkan bahwa IMFA hanya spekulan investor. "Kita ajukan alat bukti, sedang kita siapkan," tegasnya.
Teddy sangat yakin pemerintah menang dalam sengketa ini, tinggal siapkan alat bukti saja. Apalagi Indonesia sudah pernah menag dalam kasus serupa melawan perusahaan tambang asal Inggris, Churchill Mining. "Melihat kondisi ini, kita cukup yakin. Tahun lalu kita menang melawan Churchill Mining," tukasnya.
Proses arbitrase masih panjang, belum bisa diperkirakan kapan akan selesai. "Belum bisa diperkirakan, prosesnya panjang. 16 Agustus 2018 mendatang kita ada hearing lagi," tutupnya. (dtf)