Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
MedanBisnis - Jakarta. Hakim masih menjadi sasaran operasi tangkap tangan (OTT) KPK. Indonesia Corruption Watch (ICW) pun menyoroti peran Komisi Yudisial (KY).
"KY harus lebih besar lagi peran dan kewenangan. KY kan dituntut melakukan hal besar tapi kewenangannya malah dipereteli," kata peneliti ICW Aradila Caesar saat dihubungi, Jumat (8/9).
Menurut Aradila, selama ini KY hanya bisa bersifat pasif, menunggu laporan adanya pelanggaran yang dilakukan hakim. Padahal, KY salah satu tugasnya adalah mengawasi peradilan.
"KY kan sekarang sifatnya pasif hanya menunggu laporan. Nah dalam konteks etiknya, kita bisa bilang KY bisa dikatakan bisa dipercaya. Tapi pengawasan aktif tidak bisa dilakukan," ucapnya.
Aradila juga menyebut ada persepsi bila hubungan MA dan KY selama ini tidak akur. Hal tersebut bisa dilihat dari kewenangan KY yang terus dikerdilkan. Dia pun merasa ada kesan bila MA tidak mau dicampuri urusannya oleh KY.
"MA terkesan tidak mau dicampuri oleh KY. KY harus masuk ke MA, bukan untuk ganggu independensi tapi menciptakan peradilan yang lebih bersih. Dalam satu sisi MA mau pengadilan bersih tapi dia tidak ada partner yang benar-benar mampu mendorong agenda pembaharuan di MA. Karena itu KY harus masuk," tegasnya.
Sebelumnya KPK menangkap hakim PN Bengkulu, Dewi Suryana, terkait dugaan suap. Di tahun 2016, Hakim Tindak Pidana Korupsi Bengkulu Janner Purba dan Toton juga ditangkap KPK karena menerima suap atas kasus penyalahgunaan honor dewan pembina RSUD M Yunus di Bengkulu.
Selain hakim, KPK Juga banyak menangkap panitera pengadilan, yang terakhir adalah panitera PN Jakarta Selatan bernama Tarmizi. Dalam catatan KY, pada 2016 saja ada 28 aparat pengadilan yang terkena OTT KPK. Mereka terdiri atas hakim, panitera, dan pegawai lainnya. (dtc)