Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Komik Medan pernah berjaya di kancah perkomikan tanah air. Masa keemasan itu berlangsung antara 1954-1963. Tidak lama memang. Namun dalam waktu yang singkat itu, sejumlah komik yang dihasilkan di masa itu telah menjadi komik yang paling banyak dicari kolektor komik di tanah air hingga sekarang ini.
Menurut seorang peneliti komik Indonesia asal Prancis, Marcel Bonneeff (Komik Indonesia: 1998), komikus Medan telah menyumbang nilai estetis yang selama ini kurang diperhatikan komikus sezamannya.
Tidak heran bila hingga kini, komik-komik Medan masih magnet bagi sejumlah peneliti komik tanah air. Termasuk bagi Seno Gumira Aji Darma. Seno adalah wartawan senior dan juga sastrawan yang pernah meraih Magsasay dan Khatulistiwa Awards.
Pada Harian Kompas edisi 29 April 2007, Seno menulis “Komik Filsafat Taguan Hardjo” Seno merujuk kepada dua komik Taguan Hardjo, “Batas Firdaus” (1962) dan “Namanya Manusia” (1966).
Di tulisan itu, Seno mengaku tertarik dengan komik-komik dari Medan yang menurutnya berbeda dari komik-komik Jawa. Perbedaan itu salah satunya dari substansi komik itu sendiri.
Kedua komik itu dianggap mampu menghadirkan dilemma kemanusiaan pasca perang nuklir berakhir. Peradaban kemanusiaan yang hancur membuat manusia berada dalam titik nol. Melalui komiknya Taguan Hardjo pun menyuguhkan suatu dialog antara dua manusia yakni sang ayah dan anak perempuannya yang masih hidup. Mereka terdampar di suatu pulau yang tersisa. Pulau itu adalah “Batas Firdaus”.
Keistimewaan komik Medan juga diungkapkan peneliti Komik dari Medan, Koko Hendri Lubis. Koko yang sejak sepuluh tahun terakhir melakukan penelitin terhadap komik-komik Medan menemukan beberapa fakta.
Meski tak lama, komik-komik Medan sempat merajai dunia komik tanah air. Bahkan sejumlah komikus Medan telah menjadi legenda komik Indonesia. Sebut saja Taguan Hardjo. Beberapa komik Taguan seperti “Hikayat Musang Berjanggut” “Batas Firdaus” Kisah ke-2 Kapten Yani” Dibakar Api Dendam” dianggap sebagai komik terbaik yang pernah ada di Indonesia.
Komikus lain yang tak kalah populernya adalah Zam Nuldyn, Djas, Bahzar Sou'yb, M Ali's, Arry Darma, Loethfi Asmoro, Masdar, Jus Eff, Buyung Gandrung, Irwansjah, Si Gajo, M. Yunan D.
“Kekuatan komik Medan ada pada temanya. Komik Medan kaya akan nilai-nilai filsafat. Komik-komik itu lebih sering menceritakan legenda-legenda yang ada di Sumatera Utara dan Minangkabau. Inilah yang membedakan komik Medan dengan komik dari Jawa. Sedangkan komik Jawa lebih sering berisi cerita-cerita silat, wayang dan legenda Jawa,” jelas Koko kepada medanbisnisdaily.com, Jumat (8/9/2017).
.
Menurut penulis buku “Hikayat Si Pogos” (2015) dan “Pernikahan Tradisional di Mandailing” (2016) ini, selain bernuansa filsafat, komik Medan juga punya rasa yang berbeda. Ada unsur detektif, komedi dan kritik sosial-politik di dalamnya. Bahkan juga beberapa ada yang mengangkat tema revolusi.
Kaya Rasa
Senada dengan itu, rekan Taguan Hardjo, Idris Pasaribu mengungkapkan komik Medan, khususnya karya mengandung unsur estetika, imajinasi, yang menyelipkan nilai-nilai moralitas atau bahkan filosofi hidup.
Sindiran atau kritik sosial disampaikan Taguan Hardjo secara subtil, bahkan tak jarang lewat satir yang kelewat halus, namun berhasil ditangkap oleh para penikmat komik.
Idris lalu memberi contoh komik “Mati Kau Tamaksa”. Banyak yang menilai itu komik fantasi. Menurut redaktur rubrik budaya Harian Analisa ini, masa kejayaan komik Medan itu harus berakhir. Salah satunya disebabkan hura-hara politik tanah air di tahun 1965.
Sekedar informasi, Taguan Hardjo dan Idris Pasaribu pernah sama-sama aktif berkiprah di Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN) Medan. LKN merupakan organisasi kebudayaan yang berada langsung di bawah Partai Nasional Indonesia (PNI). Taguan Hardjo adalah ayah dari seniman Boy Hardjo yang juga pernah menjabat sebagai redaktur budaya di Harian Analisa.
Pendapat sama juga diungkap sejarawan Ichwan Azhari Menurutnya, komik Medan, memiliki nilai khusus yang tak ditemukan di komik-komik Jawa. Komik Medan ditulis dengan cukup serius. Itu karena komikusnya melakukan riset dan observasi.
Selain itu, ceritanya sangat mengasyikkan dan mendebarkan. Sepertinya ada harapan komikusnya, karyanya itu bisa digarap menjadi film layar lebar.
Bahkan, menurut Ichwan, komikus Medanlah yang pertama kali menampilkan wajah Indonesia dalam bentuk komik. Berbeda halnya komikus Jawa yang lebih sering terinspirasi dari cerita wayang seperti Mahabrata atau Ramayana.