Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Berdasarkan catatan Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-ilmu Sosial Universitas Negeri Medan (Pussis-Unimed), ada ratusan situs sejarah, baik berupa bangunan maupun areal di Medan yang kondisinya terancam.
Protes yang selama ini gencar dilakukan masyarakat tidak diindahkan. Dari jumlah itu, ada puluhan bangunan bersejarah yang telah rata dengan tanah.
Penghancuran tersebut telah melanggar Undang-Undang No 5 tentang Benda Cagar Budaya (BCB), yang harus dilindungi keberadaannya. Protes yang selama ini dilakukan sejumlah elemen antara lain, sejarawan, sosiolog, mahasiswa, Badan Warisan Sumatera (BWS), Komunitas Taman, seniman, wartawan tidak direspon sama sekali. Meski protes demi protes itu terus dilayangkan, namun hingga kini, penghancuran terus dilakukan.
“Pemerintah Kota Medan harus serius merawat peninggalan-peninggalan bersejarah itu. Jangan lagi ada penghancuran,” kata Kepal Pussis Unimed, Ichwan Azhari.
Pendapat yang sama juga disampaikan Direktur Literasi Sumatera, Jhon Fawer Siahaan. Menurut alumni sejarah Unimed ini, Medan adalah kota sejarah tapi tanpa identitas yang jelas. Kalau bangunan-bangunan bersejarah yang merupakan bukti nyata saja tidak dihargai bagaimana halnya dengan peninggalan sejarah tak benda yang juga banyak ditemukan di Medan. Sepanjang Pemernitah Kota Medan tidak bisa menghargai sejarahnya maka kota ini hanya akan menjadi kota zombie.
“Pemerintah Kota Medan harusnya bangga karena kota ini pernah dijuluki ‘Paris van Sumatera’. Julukan itu sangat prestius, karena di kota inilah banyak peninggalan arsitektural yang diwariskan Belanda. Harusnya bangunan-bangunan itu diberdayakan direvitalisasi,” jelas Jhon.
Kegelisahan yang sama juga diungkapkan Ketua Ikatan Pecinta Arsitektur Medan (IPAM) Herman Rangkuti. Dikatakannya, identitas suatu kota dapat dilihat dari riwayat sejarahnya. Kota Medan adalah salah satu kota di Sumatera Utara yang kaya akan sejarah. Terbukti dari bangunan-bangunan bersejarah yang ada. Namun kalau semua itu tidak dirawat sama saja tak ada artinya, katanya.
Kekecewaan juga dirasakan komunitas seniman di kota ini. Seperti yang disampaikan seniman film, Emiry. Menurutnya, cerita tentang Kota Medan di masa lalu tak ubahnya sebuah dongeng.
Dikatakannya, Medan memiliki sejarah keemasan sekaligus di dalamnya ada cerita-cerita getir. Salah satunya tentang sejarah Tembakau Deli.
“Seluruh dunia tahu kejayaan Tembakau Deli. Boleh dibilang Kota Medan dibangun dari penderitaan kuli kontrak yang bekerja di Tembakau Deli. Kita tidak boleh melupakan sejarah itu. Sejarah kuli kontrak termasuk yang paling fenomenal di abad ke-19. Generasi mendatang harus tetap tahu sejarah itu. Tapi kalau bukti-bukti fisiknya dihilangkan, bagaimana kita akan menceritakan hal itu kepada mereka,” tegasnya.
Kota Banjir
Kini julukan “Paris van Sumatera” itu lebih tepat bila diganti dengan “Kota Banjir”. Maklum setiap kali hujan turun bahkan dengan intensitas yang rendah, Kota Medan langsung terendam banjir.
Titik-titik banjir itu justru ada di kawasan dimana bangunan-bangunan bersejarah itu ada. Salah satunya di kawasan Lapangan Merdeka. Salah satu penyebab banjir itu dikarenakan pola pembangunan yang tak terencana.
Bangunan-bangunan besar seperti hotel dan pusat perbelanjaan terus tumbuh. Ironisnya sebagian besar bangunan-bangunan ini umumnya berdiri di pinggir jalan. Padahal biasanya mereka melakukan penimbunan. Alhasil ketinggian jalan beserta gorong-gorong jauh lebih rendah. Akibatnya air melimpah ke ruas jalan.
Sosiolog Usman Pelly termasuk yang paling kecewa dengan keadaan Kota Medan kini. Menurutnya, mestinya perencanaan tata ruang setidaknya untuk 30 tahun ke depan.
Usman Pelly yang ikut dalam pembuatan masterplan pertama membuat zonase-zonase untuk tata ruang Kota Medan. Ada zona perdagangan, zona industri, zona sekolah, zona perumahan, dan lainnya. Namun sejak 40 tahun terakhir, tidak ada lagi masterplan yang dibuat baru dengan menyesuaikan kondisi kekinian. Kini, tidak ada pengganti masterplan baru.
Di sisi lain, keberadaan sungai yang membelah Kota Medan juga mengalami penyempitan. Terutama karena pertumbuhan industri yang tak mempertimbangkan keseimbangan ekosistem. Sungai Deli maupun Sungai Babura, yang selama ini menjadi daerah resapan air, tak lagi mampu menahan debit air. Baik karena hujan maupun dampak kerusakan ekologis yang selama ini berlangsung.
Sementara di hulu, kawasan penyanggah air kondisinya semakin parah. Perambahan hutan berlangsung setiap saat. Ketika hujan turun, air langsung mengalir ke hilir. Celakanya aliran air itu disertai dengan material seperti lumpur, balok-balok kayu juga sampah. Material-material ini ikut menyumbat gorong-gorong dan membuat air naik ke permukaan.