Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Sumatera Utara sangat kaya dengan keanekaragaman masyarakatnya, baik etnis, agama, aliran kepercayaan, golongan maupun suku bangsa. Potensi itu tidak habis-habisnya untuk dieksplor. Salah satunya dalam bentuk film dokumenter.
Istilah film dokumenter sendiri dicetuskan pertama kali oleh pengamata film asal New York, John Grierso pada 1926. Kala itu John mengulas film “Moana” (1926) karya Robert Flaherty. John menyebut film dokumenter sebagai film yang merekam kenyataan sebagaimana dalam “Moana”. Sejak itu film dokumenter berkembang di berbagai belahan dunia.
Di Perancis, istilah film dokumenter diartikan lebih luas. Yakni film-film yang non fiksi. Dengan kata lain film dokumenter, berarti film yang menampilkan kembali fakta yang ada dalam kehidupan. Beberapa film dokumenter, seperti “Super Size Me”, “March of the Penguins” dan “An Inconvenient Truth” dianggap paling berhasil sepanjang sejarah box office.
Potensi Sumatera Utara yang begitu kaya sangat layak untuk diangkat dalam bentuk film dokumenter. Tetapi di Sumatera Utara, film dokumenter belum “seramai” di Pulau Jawa. Semata-mata bukan dikarenakan minimnya sineas yang memilih genre film ini, tetapi karena ketiadaan ruang.
?Secara khusus dalam 10 tahun terakhir, film dokumenter produksi sineas Sumatera Utara terus menggeliat. Ada 3 tema yang biasa dianggkat. Antara lain budaya, sejarah dan sosial. Tetapi dari sisi kuantitas jumlahnya lebih sedikit dibanding film fiksi yang diproduksi orang Sumatera Utara, kata Sineas Film Dokumenter, Andi Hutagalung kepada medanbisnisdaily.com, Rabu (20/9/2017).
“Mungkin karena pasar film dokumenter yang masih sangat terbatas. Kalau subjek atau tema sangat banyak yang bisa dikelola di Sumatera Utara. Selain itu, di Sumatera Utara ruang dan apresiasi film dokumenter sangat sempit. Padahal kalau bicara kualitas film dokumenter karya sineas Sumatera Utara sudah bisa disamakan dengan produksi di Jakarta atau sentra-sentra film yang ada di Jawa,” jelasnya.
Film dokumenter karya Andi Hutagalung sendiri beberapa kali meraih penghargaan. “Opera Batak” meraih penghargaan pada Festival Film Dokumenter (FFD) di Bali (2011). “Permata di Tengah Danau” meraih Piala Maya 2012 dan Penghargaan dalam Festival Film Dokumenter (FFD) Bali tahun (2012). Kedua film pendeknya yang juga bergenre dokumenter antara lain “Jamu Laut”, “Rakut Sitelu” berhasil meraih penghargaan internasional film pendek, masing-masing 2014 dan 2015.
Menciptakan Iklim
Berdasarkan penuturan salah seorang praktisi film di Medan, Amsyal Tanjung dalam sebuah seminar tentang film, beberapa waktu yang lalu, menurutnya, saat ini ada 60 rumah produksi di Medan, 12 di antaranya aktif membuat film, setidaknya film pendek, dokumenter, maupun produksi pembuatan film profil yang sifatnya pesanan dari pihak tertentu. Selain Andi Hutagalung, beberapa nama sineas film yang aktif memproduksi dan film dokumenter sering meraih penghargaan di level nasional dan internasional, adalah Onny Kresnawan, Ori Semloko.
Menurut Andi, masyarakat di Sumatera Utara kerap beranggapan film dokumenter itu kaku dan membosankan. Padahal sebenarnya film dokumenter itu sangat penting untuk pendidikan. Inilah salah satu alasan mengapa akhirnya para pembuat film dokumenter di Sumatera Utara lebih memilih untuk mencari penontonnya ke Jakarta, Jawa dan Bali. Bahkan sampai keluar negeri. Karena di sana masih banyak yang menerima dan memberikan ruang apresiasi.
Melihat kenyataan itu, para pembuat film dokumenter memiliki siasat lain. Mereka menggarap film karena pesanan NGo atau pun karena mau ikut lomba. Mereka tidak bisa disalahkan. Karena kondisinya cukup dilematis. Yang pasti masyarakat Medan atau Sumatera Utara belum memberikan ruang dan apresiasi terhadap film dokumenter.
"Untuk merangsang minat serta menciptakan iklim bagi film dokumenter di daerah ini, insane film harus terus membuat workshop dan nonton bareng ke sekolah-sekolah. Selain itu para insan film yang sudah lebih dulu berpengalaman harus lebih sering berdiskusi dengan komunitas-komunitas film yang ada di Sumatera Utara," kata Andi.