Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Seiring dengan memudarnya penggunaan bahasa daerah (etnis) di masyarakat Indonesia, sastra etnis pun kini kondisinya semakin kritis. Sastra etnis tidak bisa lepas dari bahasa pendukungnya. Keduanya adalah dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Lewat bahasa etnis itulah, sastra etnis melekat.
Bahasa etnis adalah media dari sastra etnis itu. Menggantinya dengan media lain, semisal Bahasa Indonesia, sering jadi tidak produktif. Sebaliknya, malah sering merusak sastra etnis itu sendiri.
Dalam catatan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI tahun 2016, disebutkan ada 139 bahasa daerah yang sekarang ini berada di ambang kepunahan. Sedikitnya 14 bahasa daerah bahkan telah hilang, yakni bahasa Hoti, Hukumina, Hulung, Serua, Te'un, Palumata, Loun, Moksela, Naka'ela, dan Nila (Maluku Tengah), Ternateno dan Ibu (Maluku Utara), Saponi dan Mapia (Papua).
Padahal, Indonesia memiliki kurang lebih 700 bahasa daerah yang tersebar di nusantara. Ironisnya, dari jumlah itu, hanya 13 bahasa daerah yang penuturnya di atas satu juta jiwa.
Salah satu dampak krisis bahasa etnis itu adalah hilangnya sastra etnis. Karena sekali pun suatu bahasa etnis masih eksis, belum tentu dengan sastranya. Sebaliknya bila bahasa etnis itu hilang sudah pasti sastra etnisnya pun hilang.
Kritis sastra etnis disampaikan peneliti dari Balai Bahasa Sumatera Utara, Sahril, dalam seminar “Sastra Etnik dalam Dunia Maya”, di Balai Bahasa Sumatera Utara, Jalan Kolam No 7, Medan, baru-baru ini.
Sahril bahkan menyebut 60% sastra etnik telah punah. Selebihnya berada dalam fase kritis. Salah satu faktornya adalah akibat hilangnya penutur pada bahasa daerah itu sendiri.
“Selama ini, bahasa-bahasa daerah yang kita kenal lewat media televisi, misalnya, kebanyakan berasal dari bahasa Betawi, Sunda dan Jawa. Punahnya bahasa daerah salah satunya akan berdampak pada eksistensi sastra daerah itu sendiri. Sastra tidak bisa lepas dari bahasa yang menjadi medianya,” kata Sahril.
Dalam teori sastra, sastra etnik diklasifikasikan sebagai jenis karya sastra lama. Sastra etnik itu berupa pantun, gurindam, seloka, legenda, dongeng, cerita rakyat dan sebagainya.
Dalam bahasa daerah contoh sastra etnik itu dikenal dengan nama yang berbeda-beda. Misalnya dalam Batak Toba, pantun itu disebut umpasa. Cerita rakyat disebut turi-turian. Tidak hanya itu, sastra etnik bisa juga berbentuk mantra yang pada dasarnya adalah sebuah doa.
Kaya Nilai
Sastra etnik kaya akan nilai-nilai. Di dalamnya banyak kearifan lokal yang mencerminkan budaya yang mendukungnya. Dari sisi antropologis, sastra etnik menjelaskan perspektif dan pola hidup suatu kelompok masyarakat tertentu. Dari kandungan sastra etnik itu, akan terlihat kencenderungan kepribadian masyarakat secara kolektif. Hal ini diungkap seorang peneliti budaya Sibolga yang juga mantan Kadis Pariwisata Sibolga, Radjoki Nainggolan, dalam seminar itu.
Menurutnya, sebagai bagian dari budaya, bahasa dan sastra etnis, menjadi media komunikasi yang efektif untuk bersosiliasi antar komunitas budaya. Bahkan membentuk satu ciri bahasa tertentu. Seperti yang terjadi di Sibolga.
“Masyarakat Sibolga memiliki ciri bahasa Batak pesisir yang unik,” jelasnya.
Usaha-usaha merevitalisasi sastra etnik pun perlu dilakukan. Antara lain dengan memanfaatkan kemajuan teknologi informasi.
Menurut Sahril, teknologi informasi seperti media sosial berbasis online harus dimanfaatkan. Sastra etnik harus bergerak sporadis dengan menyebar ke berbagai media yang berkembang sekarang ini. Memanfaatkan media sosial adalah pilihan yang strategis. Lewat media ini, sastra-sastra etnis itu dapat disebar dalam berbagai varian.
Selain itu, sastra etnis dapat bertahan bila penuturnya masih ada. Peran orangtua sangat penting dalam hal ini. Orangtua harus memperkenalkan bahasa daerah mereka kepada anak-anaknya. Yakni dengan membiasakan diri menggunakan bahasa daerah di dalam rumah.