Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Tren wisata abad ke-21 ini perlahan-lahan mulai bergeser. Paradigma wisatawan yang dulu menempatkan dirinya semata-mata sebagai penikmat, cenderung berubah. Mereka kini menginginkan lebih dari sekadar pengunjung. Dalam arti tidak lagi sekadar menikmati “benda mati”yang itu-itu saja.
Perubahan itu disebabkan beberapa hal. Pertama, kecenderungan masyarakat global semakin bosan dengan objek-objek wisata yang melulu alam (saujana) maupun berupa peninggalan sejarah-budaya. Hal itu dikarenakan semakin timbulnya kesadaran bahwa berwisata adalah sebuah proses untuk mengenal kebudayaan asing dalam wujud interaksi.
Kebudayaan di sini bukan semata-mata produk kesenian, tetapi mencakup aspek-aspek lain. Semisal pola hidup, sistem sosial dan relasi mereka terhadap alam sekitar.
Kedua, adanya kritik terhadap dunia pariwisata itu sendiri. Bahwa kemajuan objek wisata suatu daerah, ternyata sering tidak sejalan dengan peningkatan ekonomi masyarakat yang berdiam di tempat itu.
Hal ini disebabkan karena masyarakat hanya menikmati sekian persen dari sirkulasi uang yang beredar dari kunjungan wisatawan. Lebih dari setengahnya justru dinikmati oleh industri yang sudah mapan. Antara lain, maskapai, biro perjalanan dan perhotelan. Sedangkan putaran ekonomi itu kurang berdampak langsung pada masyarakat lokal.
Karenanya, perlu formulasi konsep wisata yang berbasis kerakyatan. Salah satunya dengan menggalakkan alternative tourism. Di mana, masyarakat di daerah wisata harus ditempatkan menjadi pelaku utama. Hal ini sudah dimulai di negara-negara maju, seperti China, Italia, Inggris, Jepang dan USA.
Objek-objek wisata di negara itu tidak lagi dilengkapi dengan akomodasi yang kapitalistik, semacam hotel. Cukup disediakan homestay, baik milik masyarakat ataupun pemerintah yang dikelola masyarakat. Dengan demikian biaya akomodasi dan logistik berpindah dari industri ke masyarakat.
Alhasil, masyarakat yang tinggal di sekitar objek wisata itu merasakan dampaknya langsung. Tidak hanya secara ekonomi, tetapi yang lebih penting, tumbuhnya kesadaran kolektif untuk bersama-sama menjaga lingkungan tempat mereka tinggal. Baik dari sisi sanitasi maupun keamanan dan kenyamanan.
Hal ini dijelaskan pegiat wisata alternatif dari Komunitas Go Green Medan, Yopi Ismadi, kepada medanbisnisdaily.com, Minggu (24/9/2017).
Yopi yang belum lama ini mengikuti seminar internasional tentang wisata alternatif di Jepang ini menjelaskan, tren wisata alternatif adalah tema besar industri wisata dunia dewasa ini. Sasarannya adalah menjadikan wisata ekologis dan bermanfaat bagi masyarakat lokal.
Sosialisasi
Dijelaskannya, para wisatawan sekarang ini lebih menginginkan adanya interaksi dengan masyarakat lokal. Tujuannya agar mereka dapat saling bertukar informasi seputar kehidupan masing-masing. Baik mengenai seni, budaya dan bahkan pandangan hidup.
Disebutkannya, para turis kini cenderung memilih untuk tinggal di rumah masyarakat dan berbaur dengan mereka. Masyarakat pun bebas menawarkan sendiri berapa fee yang harus mereka bayarkan, serta paket-paket layanan yang harus mereka sediakan. Begitulah, baik wisatawan dan masyarakat telah menjalin hubungan yang tidak sekadar melulu kepariwisataan belaka.
Tetapi tetap juga harus diwaspadai, konsep ini juga memiliki sisi negatif. Salah satunya berpotensi menimbulkan “kawin kontrak” atau bahkan perdagangan manusia. Karenanya untuk sampai ke sana, masyarakat lokal terlebih dulu harus diberikan pemahaman serta penguatan karakter.
Begitu juga dalam konteks wisata Danau Toba. Menurut Yopi, perlu sosialisasi terus-menerus. Selama ini masyarakat di kawasan Danau Toba hanya mendengar sepenggal-sepenggal, sehingga tidak sedikit mereka yang tak paham.
Sering terjadi miskomunikasi. Termasuk wacana geopark kemarin. Setahu saya masih banyak penduduk di kawasan Danau Toba yang belum paham tentang geopark. Mereka pikir, tanah mereka akan diambil pemerintah.
“Yang perlu kita lakukan adalah sosialisasi terus menerus. Terutama dengan melibatkan tokoh-tokoh masyarakat di sana. Bagaimanapun mereka yang lebih paham dengan karakter serta kebutuhan masyarakatnya,” papar Yopie.