Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Masyarakat Karo, Sumatera Utara, kaya akan peninggalan budayanya. Salah satunya di bidang musik. Selain musiknya yang unik, beberapa alat musik tradisi Karo juga terbilang istimewa. Contohnya Gendang Karo.
Gendang Karo adalah gendang terkecil di dunia. Bahkan di antara alat musik perkusi (dimainkan dengan cara dipukul/ditabuh), gendang Karo merupakan yang paling kecil.
Pertama kali informasi ini diungkap musisi dunia, Ben M Pasaribu dalam satu kesempatan workshop musik tradisi di Taman Budaya Sumatera Utara, beberapa tahun silam.
Alat musik ini berukuran 15 centimeter. Terbuat dari kayu ingul. Kayu ingul termasuk jenis kayu keras dan tergolong kayu endemic (khas) di hutan tropis Sumatera Utara. Bentuknya serupa dengan gendang pada umumnya. Bagian atas dan bawah ditutupi dengan lembaran kulit napuh. Napuh sendiri adalah sejenis hewan liar, sejenis kancil). Sedangkan kedua sisi yang menutup gendang tersebut saling berhubungan dengan pengikatnya yang terbuat dari kulit sapi berbentuk tali. Keunikan lainnya gendang bisa menghasilkan banyak jenis suara.
Ben M Pasaribu menilai bahwa perkusi terkecil ini merupakan stimulan (perangsang) yang sangat bermakna bagi perjalanan musik tradisional Karo. Artinya, dapat memberikan apresiasi kepada instrumen musik daerah ini, dan membuka cakrawala pemikiran generasi muda menggeluti seluruh alat musik tradisi yang ada di Sumatera Utara, kata Ben kala itu.
Apa yang disampaikannya itu pun menemui kebenarannya. Sejumlah musisi muda Karo sekarang semakin bangga dengan musik tradisi mereka. Salah satunya, Brevin Tarigan. Musisi etnis Karo yang mendirikan De Tradisi ini, mengaku bangga dengan gendang Karo yang unik itu.
“Sejak mendiang Pak Ben menyampaikan penemuannya, kami semakin tertarik dengan musik tradisi Karo. Dan apa yang disampaikan beliau memang benar. Sampai saat ini, Gendang Karo memang yang terkecil di level perkusi,” kata musisi Karo, Brevin Tarigan, pada medanbisnisdaily.com, Senin (25/9/2017).
Secara instrumental, gendang Karo sebagai penyeimbang ritem padan ansambel gendang lima sendalanen. Disebut gendang lima sendalanen atau lima sejalan karena saat digunakan, sekaligus tampil lima alat musik. Kelimanya adalah gendang indung, gendang anak, sarune, gong kecil dan gong besar.
Sebelum alat musik modern elektronik melalui perangkat keyboard, kelima gendang inilah yang digunakan dalam setiap kali kegiatan adat maupun budaya masyarakat Karo.
Ikut Tergerus
Nasib musik tradisi Karo tidak jauh berbeda dengan musik tradisi lainnya yang ada di Sumatera Utara. Dewasa ini pertunjukan musik tradisi Karo sudah jarang ditampilkan. Acara-acara adat maupun kegiatan budaya masyarakat Karo lebih sering menggunakan keyboard.
Pertunjukan musik tradisional itu justru lebih dinimati negara asing. Sehingga tidak jarang para pemusik tradisi dari Sumatera Utara manggung di luar negeri. Sedangkan di dalam negeri, mereka nyaris tidak punya panggung.
Kondisi inilah yang dialami rata-rata pemusik tradisi di daerah ini. Di luar negeri mereka diapresiasi sedangkan di negaranya sendiri mereka kerap dipandang sebelah mata. Karenanya, berbagai dampak negatif pun muncul. Antara lain adanya rasa minder di kalangan generasi yang lebih muda.
Di sisi lain, untuk mempertahankan eksistensi sekaligus ekonominya, musisi yang lebih senior sering tidak mau membuka akses kepada yang lebih muda. Sebagian besar membuat dirinya ekslusif. Padahal dengan sikap seperti itu hanya akan membuat seni musik tradisi itu tidak berkembang.
Akibatnya pemusik-pemusik tradisional pendatang baru banyak yang berhenti di tengah jalan. Mereka gampang menyerah dan cepat putus asa. Di satu mereka sulit disalahkan. Mengingat peluang-peluang untuk menjadi pemusik tradisi yang profesional dirasa sangat kecil peluangnya.
Selama ini sebagian besar pemusik tradisional itu harus “mati-matian” untuk bisa sekadar tampil di panggung nasional. Bila even itu merupakan program pemerintah, malah akan lebih parah. Persaingan yang terjadi malah sering di luar skill dan kemampuan bermusik itu sendiri. Alhasil pemusik-pemusik yang lebih muda, lebih sering kalah bahkan sebelum berperang.