Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
MedanBisnis - Jakarta. Jaksa Agung Prasetyo menyebut tuntutan dua tahun terhadap Buni Yani terkait dengan vonis dua tahun penjara Basuki T Purnama (Ahok). Guru besar pidana Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Prof Hibnu Nugroho meminta hakim tetap obyektif.
"Pengacara (menyebut tuntutan Buni Yani balas dendam) itu pandangan subjektif, membela kliennya sehingga sah-sah saja. Makanya hakim harus obyektif nggak boleh terpengaruh," kata Hibnu saat berbincang via telepon, Rabu (11/10) malam.
Hibnu mengatakan dalam hukum pidana tidak ada yang disebut asas keseimbangan. Menurutnya setiap kasus hukum selalu ada subjektifitasnya sendiri-sendiri.
"Nggak ada (asas keseimbangan), kasus itu ya mungkin terkait tapi ada dalam hukum pidana subjektifitasnya sendiri-sendiri, jadi ada pertanggungjawaban pribadi, individualisasi pidana istilahnya," jelasnya.
Hibnu pun menilai apa yang dilakukan Buni Yani dan Ahok bisa jadi dinilai mirip karena sama-sama melanggar UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Namun, masing-masing memiliki subjek dan pertanggungjawaban yang berbeda.
"Mungkin apa yang dilakukan Pak Bun tentang UU ITE, Ahok dengan ITE mungkin seperti itu. Tapi subjek hukumnya kan beda. Ada kemiripan kasus tapi pertanggungjawabannya tetep individualisasi. Ada kemiripan tapi sebab-akibatnya beda, jadi casenya berbeda. Dalam hukum namanya individualisasi pidana," urainya.
Sebelumnya, di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (11/10), Jaksa Agung M Prasetyo menyebut besarnya tuntutan terhadap Buni Yani itu tak terlepas dari kasus penistaan agama oleh Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Dalam pernyataannya, Jaksa Agung juga mengatakan, kasus Buni Yani tak bisa dilepaskan dengan kasus Ahok.
Ahok dipenjara 2 tahun akibat ucapannya di Pulau Pramuka tentang satu ayat dalam surat Al Maidah. Ucapan Ahok itu diviralkan Buni Yani melalui akun Facebook miliknya yang kemudian menjadi polemik besar. Menurut Jaksa Agung, ketika terdakwa kasus lain sebelumnya diputus hakim dengan dua tahun segera masuk, itu pula yang jadi pertimbangan jaksa bahwa harus ada keseimbangan.
Sementara itu penasihat hukum Buni Yani, menyebut pernyataan jaksa agung sebagai blunder yang menguntungkan Buni Yani. Pasalnya Majelis Hakim Pengadilan Jakarta Utara menolak semua kesimpulan Jaksa Pentuntun Umum (JPU) yang pada saat itu ngotot mengaitkan dan melebarkan kasus Ahok dengan Buni Yani. Padahal saat itu posisi JPU harusnya berseberangan dengan terdakwa. (dtc)