Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
MedanBisnis - Jakarta. Asosiasi Driver Online(ADO) menginginkan Menteri Komunikasi dan Informatika (Kominfo) segera mendukung Permen 108 dengan mengeluarkan aturan untuk perusahaan aplikasi.
Sebab, walaupun pemerintah sudah mengeluarkan aturan Permen 108, di lapangan dinilai masih banyak aturan yang dilanggar perusahaan aplikasi.
"Saat ini masih banyak perusahaan yang belum menerapkan aturan tarif batas bawah. Yang terjadi perusahaan tetap menetapkan tarif murah secara jor joran. Dengan berkedok promosi. Selain itu masih ada juga perusahaan aplikasi yang terus saja merekrut driver, padahal seharusnya hal ini tidak lagi dilakukan," kata Ketua ADO Christiansen di Jakarta, Kamis (2/11).
Untuk itu, dalam waktu dekat pihaknya akan melakukan 'jemput bola' dengan mendatangi langsung Menkominfo, Menaker, Komisi V DPR-RI dan Presiden.
"Soalnya percuma walau Kemenhub sudah mengeluarkan aturan, kalau Kominfo belum juga mengeluarkan aturan terhadap perusahaan aplikasi," papar Christiansen.
Padahal kata dia, seharusnya begitu Permen 108 diberlakukan, Kominfo sebagai instansi yang memayungi perusahaan aplikasi jasa transportasi tersebut seharusnya sudah siap dengan aturan yang mencakup pengawasan berikut sanksi-sanksinya.
Hal lain menurut Christiansen, dikarenakan masih belum adanya perlindungan terhadap pengemudi baik saat bekerja maupun terhadap sanksi yang diberikan perusahaan aplikasi yang sepihak.
Sementara itu, pengamat transportasi dari UGM Lilik Wachid Budi Susilo mengatakan, perlu edukasi bagi driver mengenai bagaimana menjalankan bisnis ini. Sebab, hampir keseluruhan driver online tidak memahami risiko yang dibebankan kepada pengemudi, yang di perusahaan taksi resmi menjadi tanggung jawab perusahaan.
Risiko ini antara lain beban biaya investasi beli kendaraan, KIR, service, onderdil, biaya penyusutan, cicilan mobil, kebersihan, juga kebutuhan anggaran untuk membeli kendaraan lagi pada saat kendaraan sudah berusia 5 tahun.
Selain itu, lanjut dia, bila hanya dengan punya satu kendaraan, usaha ini tidak akan bisa masuk skala bisnis, sehingga pasti ada banyak hal yang akan dikorbankan atau di abaikan.
"Yang utama keselamatan. Driver akan berusaha memaksimalkan utilitas yang dia punyai. Akhirnya jam kerja akan berlebihan dan itu berbahaya untuk keselamatannya dan penumpangnya," paparnya.
Pembentukan badan usaha misalnya dengan membentuk koperasi, merupakan upaya pemerintah memastikan usaha ini bisa mempunyai bargaining position yang kuat dan usahanya masuk dalam skala keekonomian. Dengan demikian, ada jaminan keberlanjutan.
"Hal ini sangat sulit terjadi kalau usahanya terfragmentasi kecil-kecil, yakni hanya punya satu satu dua kendaraan," kata dia.
Senada dengan Lilik, pengamat transportasi lainnya Djoko Setiawarno menegaskan, sebaiknya Kominfo segera menerapkan aturan untuk perusahaan aplikasi supaya benturan di lapangan dapat dikurangi.
"Saya dengar di sebuah perusahaan aplikasi, driver dapat bonus setelah membawa penumpang yang kesekian. Tapi giliran yang terakhir, dia kesulitan mendapat penumpang. Kalau kayak gini, kan yang kasihan driver," papar dia.
Dia juga mengatakan bahwa publik jangan mudah tergiur tawaran untuk menjadi atau ikut bergabung pada usaha taksi online.
"Konsumen senang dapat angkutan murah, namun bagaimana pengemudi yang tidak memiliki uang cukup untuk menutup angsuran mobil tiap bulan. Karena sering dapat tarif promo yang sebenarnya merugikan pengemudi. Apalagi tidak ada audit teknologi aplikasi yang digunakan. Serta tidak ada institusi yang mengawasi aplikasi tersebut," ungkapnya.
Pengamat transportasi Agus Pambagyo menambahkan, investasi perusahaan aplikasi itu sangat besar karena kerja venture capitalist memang seperti itu.
"Makanya sekarang pembagian ke mitra semakin mengecil. Publik mikirnya cuma transportasi murah. Lama-lama itu sama dengan transportasi lain," kata dia. (dtn)