Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
MedanBisnis - Jakarta. Ketua DPR Setya Novanto menolak panggilan KPK untuk pemeriksaan kasus e-KTP hari ini. Novanto berlindung di balik Undang-Undang (UU) MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3). Ketum Golkar itu dinilai tak paham UU.
"Tindakan Ketua DPR Setya Novanto yang mangkir dari pemeriksaan KPK pada dasarnya menunjukkan ketidakmampuan dan ketidakmengertian dalam memahami UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD serta perkembangan ketatanegaraan pasca-adanya putusan MK tahun 2015 yang lalu," kata Direktur Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (Puskapsi) Fakultas Hukum Universitas Jember Bayu Dwi Anggono dalam pernyataan tertulis, Senin (6/11/2017).
"Saat ini pasal yang mengatur mengenai prosedur dalam hal anggota DPR menghadapi pemeriksaan aparat penegakan hukum karena melakukan tindak pidana adalah Pasal 245 UU MD3 yang oleh Mahkamah Konstitusi melalui putusannya Nomor 76/PUU-XII/2014 telah diberikan pengertian/makna baru," sambung Bayu.
Sebelum ada putusan MK tersebut, kata Bayu, pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD). Setelah ada putusan MK, persetujuan tertulis dari MKD diganti dengan persetujuan tertulis dari presiden.
Meski demikian, menurut MK, apabila presiden tidak memberikan persetujuan tertulis paling lama 30 hari terhitung sejak diterimanya permohonan, pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan tetap dapat dilakukan. Artinya, persetujuan tertulis presiden tidak bisa dijadikan alat untuk mangkir atau menunda dilakukannya penyidikan.
"Pasal 245 UU MD3 pasca-adanya putusan MK mengatur persetujuan tertulis presiden diperlukan hanya untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana. Dengan demikian, untuk pemanggilan oleh aparat penegak hukum, seperti kepolisian, KPK, dan pengadilan, yang ditujukan kepada anggota DPR untuk kepentingan seperti menjadi saksi perkara pidana, tentu tidak memerlukan persetujuan tertulis menjadi saksi. Dengan demikian, tidak bisa anggota DPR menolak hadir dipanggil aparat penegak hukum sebagai saksi karena alasan belum ada izin tertulis presiden karena memang hal demikian tidak diperlukan," ulas Bayu.
Lagipula, sambung Bayu, Pasal 245 ayat 3 UU MD3 masih tetap berlaku menjadi satu kesatuan makna dengan Pasal 245 ayat 1. Dia lalu menyebutkan isi Pasal 245 ayat 3 UU MD3.
Pasal 245 ayat (3) UU MD3 isinya adalah kewajiban meminta persetujuan tertulis kepada presiden untuk memeriksa anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana tidak berlaku apabila anggota DPR:
a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana;
b. disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan bukti permulaan yang cukup; atau
c. disangka melakukan tindak pidana khusus.
"Dengan demikian, pemeriksaan anggota DPR sebagai tersangka tindak pidana korupsi yang masuk tindak pidana khusus tidak perlu persetujuan tertulis presiden," pungkas Bayu. (dtc)