Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Pernyataan sejumlah tokoh adat Mandailing yang menyatakan etnis mereka bukan Batak, beberapa waktu lalu, dikritisi banyak pihak. Salah satunya dari sastrawan Batak, Saut Situmorang. Menurut pemerhati sejarah dan budaya Batak yang berdomisi di Yogyakarta ini, wacana itu terlalu dipaksakan. Menurutnya, tidak mudah menentukan identitas sebuah etnis. Hal itu ia sampaikan kepada medanbisnisdaily.com, Senin (6/11/2017).
Saut menyuguhkan pemikiran yang membantah wacana itu. Menurutnya, salah satu hal yang membuktikan Mandailing adalah bagian dari bangsa Batak adalah dengan marga yang dimilikinya. Marga itu merupakan bagian dari identitas bangsa Batak.
Begitu juga dengan konsep tarombo yang juga ciri bangsa Batak. Karenanya, sulit untuk menyebut Mandailing itu bukan Batak. Sayangnya, kedua ciri ini justru tidak dibahas dalam seminar Mandailing bukan Batak yang berlangsung Senin (23/10/2017).
Sekedar mengulang informasi, pernyataan tokoh adat Mandailing itu diikrarkan tidak lama setelah Focus Group Discussion (FGD) bertajuk Mandailing bukan Batak digelar Senin (23/10/2017) di VIP Restoran Hotel Madani, Medan.
Hadir dalam FGD, di antaranya peneliti dan sejarawan dari Unimed Dr Phil Ichwan Azhari, antropolog Prof Usman Pelly, dan juga peneliti Pussis Universitas Negeri Medan (Unimed), Dr Erron Damanik serta puluhan peserta dari berbagai kalangan. Hadir juga kalangan wartawan.
Usman Pelly mengungkapkan, tidak ada satu pun kata Batak yang bisa ditemukan dalam khasanah atau pun manuskrip kuno baik, dari khasanah Toba, Angkola, Karo, Pakpak, Simalungun apalagi Mandailing.
Hal ini, menurut Usman, adalah pendapat akademis. Bukan pendapat untuk memecah belah persatuan apalagi pendapat dalam konteks kepentingan politik elektoral.
Sedangkan Ichwan Azhari mengungkapkan, berdasarkan banyak literatur, Batak digunakan para peneliti asing untuk menunjukkan lokasi geografis masyarakat. Batak digunakan untuk mendeskripsikan masyarakat yang mendiami wilayah hinterland atau dataran tinggi. Sedangkan masyarakat pesisir diidentikan dengan Melayu.
Istilah Batak awalnya digunakan peneliti asing untuk menyebut masyarakat tak beradab, atau istilah yang tidak diinginkan, lalu bergeser menjadi istilah untuk menggambarkan masyarakat di pegunungan, kemudian berproses menjadi identitas dan kebanggaan.
Identitas ini kemudian mendapat perbantahan utamanya dari masyarakat Mandailing. Mandailing menolak disebut sebagai Batak. "Tidak ada yang konsisten menolak Batak selain Mandailing," kata Ichwan.
Peneliti Erron Damanik secara rinci menegaskan, dijadikan enam etnis menjadi sub etnik dalam Batak dimulai dari Payung Bangun. Payung kemudian menginspirasi antropolog Koentjaraningrat yang menulis buku "Manusia dan Kebudayaan" kemudian menjadi referensi.
Dalam salah satu bab buku tersebut, ada bab yang menjelaskan Batak dan memasukkan Mandailing, Toba, Angkola, Karo, Pakpak hingga Simalungun ke dalam Batak. "Marsden menolak itu tidak homogen," katanya.
Peran Petualang Samudera
Saut membantah pernyataan sejarawan Phil Ichwan yang dalam seminar itu mengatakan istilah Batak awalnya diungkapkan oleh peneliti. Menurutnya, yang mengungkapkan pertama istilah itu adalah petualang dan para pelaut .
Dijelaskannya, sejak abad ke-2 M, lewat tulisan Ptolemaeus, dan selama satu milenium, Sumatra bagian utara dianggap sebagai daerah berbahaya karena diduga dihuni oleh sejumlah masyarakat kanibal. Yang diketahui juga adalah bahwa wilayah itu kaya dengan kamper, khususnya yang diekspor sejak abad ke-5 atau ke-6 M, melalui sebuah tempat yang bernama Barus.
Pada awal abad ke-13 M, Zhao Rugua mencatat sebuah negeri bernama Pa-t’a, di bawah kuasa Sriwijaya.
Kaitan antara Pa-t’a dan Bata sudah diterima umum. Selain itu, sejarah resmi Dinasti Yuan (Yuanshi) mencatat kedatangan utusan dari Ma-da di Istana Maharaja Tiongkok pada tahun 1285. Sebenarnya suku kata ma diucapkan ba dalam dialek yang digunakan di bagian selatan Fujian, sehingga nama tempat ini mungkin dapat dikaitkan dengan Bata. Tetapi kedua sumber Tionghoa ini tidak mengaitkan nama negeri Bata dengan sebuah masyarakat kanibal.
Gambaran tentang populasi semakin jelas dengan persinggahan Marco Polo di bagian utara Sumatra tahun 1291. Ia adalah orang pertama yang mencatat kehadiran Islam dan juga pertentangan antara kaum minoritas Islam yang bermukim di kota-kota pesisir dan masyarakat mayoritas penganut paganisme, yang biadab dan sebagian kanibal, yang tinggal di pegunungan dan belum dikenal dunia luar.