Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Wacana Mandailing bukan Batak terus berkembang. Telah menjadi isu hangat di sejumlah media, termasuk menjadi perbincangan bebas di berbagai grup di media sosial. Banyak masyarakat yang pro, namun tidak sedikit yang kontra.
Salah satunya disampaikan Darma Lubis, salah satu yang pro dengan wacana itu. Kepada medanbisnisdaily.com, Selasa (7/11/2017), pemerhati budaya yang juga mantan jurnalis ini, tidak sepakat bila marga serta merta menjadikan Mandailing sebagai Batak.
Dijelaskan Darma, keberadaan marga harus ditelusuri asal-muasalnya. Gagasan marga pasti saja berhubungan dengan peristiwa sosial-politik di kala itu.
Ditambahkannya, sejarah dan mitologi jangan dicampur aduk. Darma tidak sepakat dengan pendapat Saut Situmorang seperti yang dimuat medanbisnisdaily.com Selasa (7/11/2017).
Dijelaskannya, terkesan marga dan tarombo seperti yang diketengahkan Saut Situmorang tendensius. Seperti mengarah kepada konsep dan sejarah tarombo versi etnis Toba.
“Berdialoglah dengan fakta sejarah yang objektif, tanpa harus mengubah relasi kekerabatan,” kata Darma.
Dijelaskannya, konsep tarombo juga lahir setelah marga-marga ada. Jadi ide tarombo itu lahir karena marga ada. Tetapi sekali lagi konsep marga itu harus diteliti sejarah kemunculannya. Harus dilihat dari konteks sosial, politik dan peristiwa yang bisa saja melatarbelakanginya.
Pendapat berbeda disampaikan seorang warga Angkola, Budi Hutasuhut. Menurut Budi, jika memang Mandailing bukan Batak, maka mereka harusnya jangan lagi menggunakan pakaian adat Angkola, sebagaimana yang lazim berlaku sampai sekarang ini.
Mandailing dan Angkola itu boleh dibilang kembar. Budaya dan perangkat-perangkat adat keduanya nyaris sama. Karenanya, kalau Mandailing menyatakan bukan Batak, rasanya sulit diterima dan menyakitkan bagi masyarakat Angkola. Sedangkan Angkola sendiri adalah Batak. Dan bangga disebut Batak.
“Dari perspektif adat, Mandailing tidak bisa menyebut diri bukan Batak. Lihat pernikahan putri Jokowi. dengan Bobbi Nasution. Nasution itu Mandailing. Kenapa mereka pakai ulos Batak Angkola. Pakaian adat Angkola. Juga tor tor Angkola. Angkola itu Batak. Kalau Mandailing bukan Batak, harusnya mereka melepaskan juga semua pakaian adat, ulos, dan nilai nilai adat Angkola yang melekat di dalamnya” jelas Budi.
Budi melanjutkan, kalau Mandailing itu bukan Batak, harusnya dibuatlah terlebih dulu penelitian yang membuktikannya. Jangan hanya berdasarkan asumsi tentang kata Batak dan bias kolonial, tambah mantan jurnalis yang kini sedang menyusun peta sejarah Batak Angkola ini.
Senada dengan Budi, salah seorang akademisi di Medan, Zulkarnaen Siregar, mengaku bahwa dirinya adalah Batak. Sebab marga yang ia warisi dari nenek moyangnya berasal dari Muara, bukan dari Mandailing.
“Aku adalah orang Batak. Nenek moyangku berasal dari Muara,” katanya.
Sejak Lama
Pengakuan Mandailing bukan Batak memang sudah lama diwacanakan. Tidak hanya Mandailing, hal sama juga telah disampaikan Karo, Simalungun dan Pakpak.
Menurut peneliti sejarah dari Unimed, Erron Damanik yang juga menjadi pembicara di seminar “Mandailing Bukan Batak”, Senin (23/10/2017), Mandailing telah menolak disebut Batak sejak 1922. Sedangkan Karo menolak disebut Batak sejak 1952. Sementara Simalungun menolak disebut Batak sejak 1963. Menyusul Pakpak menolak disebut Batak sejak 1964, juga Nias menolak disebut Batak sejak 1952. Hanya Toba dan Angkola yang sampai saat ini tetap kukuh menerima disebut Batak.
Erron mengutip Vinner (1980) yang mengatakan perbedaan mendasar dari kelompok etnik yang disatukan itu adalah bahasa. Keenam etnik tersebut memiliki perbedaan bahasa yang mencolok.
"Tidak ada yang disebut Batak, yang ada adalah Mandailing, Toba, Pakpak, Karo, Simalungun dan Angkola. Batak adalah ahistoris," tegasnya dalam seminar itu.
Erron mengaku, berdasarkan penelitiannya, dijadikannya enam etnis itu menjadi sub etnik dalam Batak dimulai oleh Payung Bangun. Payung kemudian menginspirasi antropolog Koentjaraningrat yang menulis buku "Manusia dan Kebudayaan".
Buku ini kemudian menjadi referensi yang sering digunakan antropolog dan sejarawan yang meneliti kebudayaan di nusantara.
Dikatakannya, dalam salah satu bab buku tersebut, ada bab yang menjelaskan Batak yang memasukkan Mandailing, Toba, Angkola, Karo, Pakpak hingga Simalungun ke dalam satu rumpun yang disebut, Batak.