Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Perdebatan tentang Mandailing bukan Batak, sejatinya telah lama berlangsung. Wacana itu bahkan telah muncul sejak zaman kolonial Belanda. Namun kala itu, wacana itu representasi dari kelompok politik tertentu. Bila dinyatakan kembali saat ini, tentu saja ada maksudnya. Mestinya perdebatan itu sudah tuntas di zaman kolonial.
Dari ekspos media, pernyataan Mandailing bukan Batak itu dilakukan oleh dua perwakilan raja panusunan dan beberapa ormas.
Di Mandailing ada sejumlah marga yang menganut paham patrilineal serta melakoni konsep adat Dalian Natolu (di Toba; Dalihan Natolu). Marganya juga berasosiasi dengan marga Batak yang lain. Sehingga bisa diduga, pernyataan Mandailing bukan Batak sekarang ini didorong oleh dilema/motif tertentu.
Demikian dijelaskan budayawan Batak, Thompson Hs kepada medanbisnisdaily.com, Kamis (9/11/2017). Menurut Direktur Pusat Latihan Opera Batak (PLOt) ini, pernyataan itu bernada politis dan tidak representatif mewakili Mandailing.
“Di zaman Belanda, pernyataan itu juga muncul. Tapi karena dorongan kelompok politik tertentu. Karenanya semangat yang mendasari pernyataan itu kini sangat kita ragukan. Ada kesan yang sangat politis," kata Thompson.
Ketika ditanya apa motif politik yang melatarbelakanginya, Thompson tidak menjawab spesifik. Ia mempersilahkan masyarakat untuk menganalisanya sendiri. Tentu dalam konteks kekinian jelasnya.
"Silahkan menganalisa sendiri. Yang pasti saya merasa pernyataan itu tidak akan muncul begitu saja. Seperti yang terjadi di masa kolonial. Saya kira masyarakat cukup cerdas melihat itu," katanya.
Menurut sejumlah penelitian, Mandailing telah menolak disebut Batak sejak 1922. Sedangkan Karo menolak disebut Batak sejak 1952. Sementara Simalungun menolak disebut Batak sejak 1963. Menyusul Pakpak menolak disebut Batak sejak 1964, juga Nias menolak disebut Batak sejak 1952. Hanya Toba dan Angkola yang sampai saat ini tetap kukuh menerima disebut Batak.
Dalam berbagai penelitian disebutkan, pemerintahan kolonial Belanda telah berkuasa sejak tahun 1833 di Mandailing, dengan menempatkan Controleur Bonnet untuk memerintah. Kala itu nama Raja Janjian diganti dengan Raja Panusunan/Kepala Kuria sebagai Kepala Pemerintah Bumiputera yang tertinggi di Mandailing. Kepala Kuria yang merupakan bagian administrasi pemerintahan kolonial Belanda sudah berlangsung dari 1833 sampai dengan 1946.
Seperti diberitakan sebelumnya, raja-raja panusunan dan organisasi kemasyarakatan telah meneken petisi yang menegaskan bahwa Mandailing bukan Batak. Bahwa Mandailing tidak memiliki kaitan dengan Batak, baik secara kebudayaan maupun sosiokultural. Petisi itu juga meminta kepada Pemerintah Republik Indonesia dan instansi negara serta instansi swasta supaya tidak mengkaitkan Mandailing dengan Batak.
Bahwa Mandailing adalah etnis tersendiri yang tidak dapat dikaitkan dengan nama lain. Mandailing tak bisa disebut Batak, karena sebagai sebuah bangsa, Mandailing memiliki peradaban dan kebudayaan yang luhur sejak sebelum abad 13 Masehi.
Raja-raja yang hadir antara lain, Tuan Mangaraja Sian Nasution, Sutan Parluhutan Nasution, Patuan Mandailing Nasution, Baginda Mangaraja Sualoon Nasution, Baginda Batang Taris, Mangaraja Porkas, Mangaraja Gunung Gunung Nasution, Sutan Palembang Nasution, Mangaraja Monggol So Ambaton Lubis serta dari Bagas Godang Panyabungan Tonga, Panyabungan Julu, Kota Siantar, Gunung Tua, Pidolo Lombang, Panyabungan Jae, Pidoli Dolok.
Organisasi masyarakat itu, antara lain Naposo Bulung, Karang Taruna, KNPI, PMII, HMI, IMM, IPNU, IMMAN, Satma AMPI, Sapma PP.