Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
MedanBisnis - London. Militer Myanmar tengah menjadi sorotan terkait krisis Rohingya. Perdana Menteri (PM) Inggris Theresa May mengatakan bahwa militer Myanmar harus bertanggung jawab penuh atas krisis tersebut.
"Ini krisis kemanusiaan besar yang terlihat seperti pembersihan etnis," ujar May seperti dilansir kantor berita AFP, Selasa (14/11/2017).
"Dan ini adalah sesuatu yang otoritas Burma (nama lain Myanmar) -- dan khususnya militer -- harus bertanggung jawab penuh," imbuhnya.
Lebih dari 600 ribu warga Rohingya telah melarikan diri ke Bangladesh sejak militer Myanmar melancarkan operasi besar-besaran di negara bagian Rakhine pada Agustus lalu. Pejabat-pejabat PBB mengatakan bahwa para tentara Myanmar telah memperkosa wanita Rohingya beramai-ramai dan melakukan kejahatan-kejahatan lainnya dalam operasi militer tersebut.
Namun militer Myanmar menyatakan, penyelidikan internal yang dilakukannya tidak membuktikan tuduhan-tuduhan kekejaman yang dilakukan tentara. Laporan hasil penyelidikan tersebut diposting di laman Facebook milik panglima militer Myanmar, Jenderal Senior Min Aung Hlaing.
Dalam laporan itu disebutkan, menurut 2.817 orang yang diwawancarai dari 54 desa Rohingya, para tentara tidak menembaki warga desa tak bersalah, tidak memperkosa serta tidak melakukan kekerasan seksual terhadap kaum wanita. Militer juga tidak melakukan pembunuhan atau pemukulan warga desa ataupun pembakaran rumah-rumah warga.
Dalam laporannya, militer Myanmar menyalahkan para militan atas pembakaran desa-desa dan menakut-nakuti serta memaksa warga untuk meninggalkan rumah-rumah mereka. Namun klaim ini tak bisa dibuktikan mengingat otoritas Myanmar tak mengizinkan panel PBB masuk untuk menyelidiki dugaan kekerasan terhadap warga Rohingya di Rakhine.
Sebelumnya, dalam KTT ASEAN di Manila, Filipina pada Senin (13/11), Sekjen Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres juga menyampaikan keprihatinan atas krisis Rohingya. Dikatakan pemimpin badan dunia tersebut, eksodus ratusan ribu warga Rohingya merupakan "eskalasi mengkhawatirkan dalam tragedi yang berlarut-larut". Menurutnya, situasi tersebut berpotensi menjadi sumber ketidakstabilan di wilayah, serta radikalisasi. (dtc)