Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
MedanBisnis - Jakarta. Ikan tuna menjadi salah satu komoditas yang paling diminati dalam perikanan tangkap, termasuk di Indonesia. Menurut Sekretaris Jenderal Kementerian Kelautan dan Perikanan, Rifky Effendi Hardjanto, perlu diatur agar potensi perikanan tuna di Indonesia bisa terus dijaga, mengingat tuna merupakan salah satu komoditas terbesar dalam ekspor produk perikanan dari Indonesia.
"Saya pikir, regulasi di sektor tuna menjadi sangat penting karena secara statistik kita, dalam nilai eskpor, tuna menduduki peringkat tiga. Sementara secara volume, sudah over eksploitasi. Di belahan dunia lain juga sama. Kita hanya punya selisih sedikit dalam MSY (maximum sustainable yield)," katanya membuka diskusi interaktif di Kementerian Kelautan dan Perikanan, Jakarta, Senin (20/11).
Regulasi penangkapan tuna di laut semakin urgen mengingat kemampuan suplai produksi penangkapan tuna oleh dua BUMN perikanan di Indonesia tak mencapai kebutuhannya dalam menyuplai kebutuhan industri.
"Kalau saya dengar, dari Perindo dan Perinus untuk cari Cakalang sudah sangat sulit. Padahal Cakalang dalam MSY masih ada gap yang sangat lebar. Dalam sebulan realisasinya di bawah 100 ton. Sementara kontrak dengan industri janji 3.000 ton suplai dalam sebulan. Oleh karena itu harus diatur untuk membuat tuna bisa dinikmati oleh generasi-generasi sekarang dan yang akan datang," tutur Rifky.
Menurut Rifky, salah satu cara dalam mengoptimalisasi nilai penangkapan tuna saat ini adalah dengan meningkatkan jumlah produk perikanan grade 1 dari hasil tuna tangkapan. Selama ini diketahui lantaran proses penangkapan dan rantai dingin yang kurang baik, hasil produksi tangkapan tuna di Indonesia masih didominasi oleh grade atau kualitas yang rendah, sehingga membuat nilai jualnya berkurang.
"Info dari PDS (Ditjen penguatan daya saing produk kelautan dan perikanan), harga Tuna grade I di tingkat nelayan itu Rp 50 ribu per kg. Grade II Rp 35 ribu per kg, grade III Rp 20 ribu per kg. Jadi seandainya kita tangkap grade 1 lebih banyak, maka jumlah yang dibawa bisa lebih banyak dalam jumlah tangkapan yang sama dengan grade 3," pungkasnya.
Larangan transhipment
Di lain hal, hasil penangkapan ikan di Indonesia tidak sesuai dengan potensi yang ada. Rektor terpilih Institut Pertanian Bogor (IPB) tahun 2017-2022, Arif Satria mengatakan, produksi perikanan tangkap sampai bulan September 2017 baru 4,5 juta ton, padahal potensinya mencapai 12,5 juta ton.
"Tren produksi perikanan dunia untuk perikanan tangkap saat ini memang semakin lama semakin menurun," ucapnya.
Di lain hal, kebijakan pelarangan transhipment juga menjadi salah satu penurunan hasil tangkapan tuna. Dia bilang, dari kuota penangkapan tuna di beberapa wilayah laut lepas saat ini sudah meningkat, namun di lain hal kapasitas tangkapan tuna Indonesia justru jauh dari kuota yang disediakan karena persoalan transhipment dan kurangnya jumlah kapal tadi.
Sejak diberlakukannya pelarangan transhipment di 2015, hasil tangkapan tuna tercatat selalu di bawah kuota tangkapan tuna yang diperbolehkan. Di 2015, hasil tangkapan tuna tercatat 592 ribu ton dari kuota 750 ribu ton. Di 2016, jumlah tangkapan tuna tercatat 600 ribu ton dari kuota 750 ribu ton.
"2015-2016 masih agak mending 500-600 ton kapasitasnya karena ada titip (transhipment). Tapi sekarang karena ada regulasi baru, jadi terhambat," ungkapnya.
Kurangnya jumlah kapal juga menurut dia menjadi salah satu penyebab rendahnya produksi perikanan tangkap tahun ini. Untuk itu, dia merekomendasikan beberapa hal kepada pemerintah untuk mengoptimalisasi hasil tangkapan tuna ke depan. Menurutnya, regulasi yang dibuat pemerintah sekarang diharapkan tidak menghambat investasi meski harus terus menjaga keberlanjutan.
Di antaranya perlu penambahan kapal longline untuk memanfaatkan catch limit big eye tuna, di wilayah western central pacific sebanyak 5.889 ton per tahun atau setara dengan sekitar 15.704 GT kapal di laut lepas. Selain itu, penambahan kapal untuk wilayah-wilayah lainnya seperti di IOTC (Indian Ocean Tuna Commission) dan Western and Central Pacific Fisheries Commission (WCPFC) untuk memaksimalkan hasil tangkapan.
"Jadi perlu investasi dan regulasi baru untuk ini. Isu illegal, unreporter dan unregulated fishing untuk keberlanjutan harus kita pentingkan, tapi isu investasi juga perlu dipikirkan," tandasnya.(dtf)