Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Sekarang ini sudah tidak zaman lagi guru mendidik dengan cara kekerasan. Sebaliknya, guru harus mendidik murid-muridnya dengan cinta kasih.
Cinta kasih bukan berarti tidak boleh marah. Guru boleh marah asalkan proporsional dan bukan didasari karena kebencian kepada murid. Inilah yang menjadi tantangan dunia pendidikan dewasa ini. Di mana guru harus bersikap lebih supel dan fleksibel dalam mendidik murid-muridnya.
Hal itu dikatakan Kepala Sekolah Nanyang Zhi Hui, Ir Lindawaty Roesli MPd kepada medanbisnisdaily.com, di sekolahnya di Jalan Abdullah Lubis, Medan Kamis (23/11/2017).
Lindawaty mengatakan, akhir atau tujuan dari pendidikan itu adalah terciptanya karakter yang luhur. Luhur mengandung sifat kasih, sabar tidak serakah dan penyayang. Jika sifat-sifat itu tidak ada, maka seorang murid bagaimana pun cerdasnya, tidak akan berarti apa-apa di kemudian hari.
“Kalau karakternya buruk, sekalipun seorang murid cerdas, itu tidak akan artinya. Hanya akan membuat susah orangtua dan bangsanya,” jelas Lindawaty.
Menurutnya, pola kekerasan sudah tidak relevan dengan kondisi saat ini. Anak-anak sudah sangat peka dan sensitif. Yang mereka butuhkan sekarang adalah bimbingan dan kasih sayang. Namun sudah pasti sekali waktu seorang murid harus dikerasi tetapi bukan dengan cara kekerasan.
“Menghukum itu prinsipnya membuat seseorang jera. Bukan membuatnya takut apalagi sampai trauma,” terang Lindawaty.
“Pada prinsipnya pedoman itulah yang kami terapkan di sekolah Nanyang. Sekolah ini berpegang teguh pada penciptaan karakter. Karenanya sekolah selalu menjunjung tinggi budi pekerti. Sangat penting bagi kami untuk memadukan IQ, EQ dan SQ. Ketiganya harus sejalan beriringan,” lanjut Lindawaty.
Menurut Lindawaty, kalau guru menghukum murid yang bersalah, maka pertama kali diupayakan agar si murid tahu apa kesalahannya itu. Dengan begitu sendirinya ia akan meminta maaf.
Kemudian, kepadanya dimintai komitmen agar tidak mengulangi lagi kesalahannya.
“Tetapi bila kesalahan itu berulang, biasanya kami akan memanggil orangtuanya untuk berkonsultasi. Jika kesalahan masih terus terjadi, kami akan melakukan pendampingan khusus dengan melibatkan psikolog,” paparnya.
“Intinya diupayakan tidak ada hukuman. Apalagi secara fisik. Karena itu hanya akan membuat para si murid trauma sekaligus membuat bibit-bibit kebencian tumbuh di hatinya,” pungkasnya.