Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
MedanBisnis - Yogyakarta. Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman-Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP RTMM-SPSI) mencatat dalam 9 tahun terakhir sedikitnya 3.129 pabrik rokok gulung tikar. Jutaan pekerja di pabrik tersebut menjadi korban PHK.
"Kondisi ini kami nilai akibat pemerintah belum 100 persen hadir melindungi industri dan pekerja Industri Hasil Tembakau (IHT)," kata Ketua Umum FSP RTMM-SPSI, Sudarto, di sela Seminar Nasional FSP RTMM-SPSI di Hotel Gallery Prawirotaman, Jumat (24/11/2017).
Menurutnya, tertekannya IHT dipicu isu dampak merokok bagi kesehatan baik di tingkat global melalui Framework Convention on Tobacco WHO, Kerangka Kerja Konvensi Pengendalian Tembakau, hingga regulasi PP 19/2003 tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan dan Perda yang mengatur Kawasan Tanpa Asap Rokok.
Hal itu pun juga dinilainya sebagai kebijakan yang tidak seimbang dalam perlindungan pemerintah terhadap IHT dan dituding menjadi kebijakan anti tembakau.
Padahal, lanjutnya, sumbangsih IHT terhadap negara cukup besar dengan contoh nyata lewat cukai yang tiap tahun dinaikkan. Hal itu berarti pendapatan negara bertambah. Tahun 2016, tercatat penerimaan negara dari cukai rokok sekitar Rp 130 triliun lebih.
Berdasar Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia, IHT dikelompokkan dalam tiga jenis, yaitu Kelompok Industri Hulu berupa industri pengeringan dan pengolahan tembakau, Kelompok Industri Antara berupa industri bumbu rokok dan kelengkapannya, serta Kelompok Industri Hilir berupa industri rokok kretek, rokok putih, dan cerutu/klobot.
"IHT juga menyumbang penyerapan tenaga kerja karena tergolong industri padat karya, terutama produk sigaret kretek tangan (SKT) yang memberi peluang penyerapan pekerja perempuan dan berpendidikan rendah. Kini mereka menjadi korban," ujarnya.
Menurutnya dalam kondisi saat ini berarti pemerintah tidak siap dengan runtuhnya industri rokok. Pemerintah tidak bisa menyediakan lapangan kerja pengganti, pemerintah tidak hadir dalam pengawasan PHK, dan pemerintah tidak hadir memperhatikan nasib pekerja IHT.
"Kami paham industri tembakau butuh regulasi, tapi kami minta ada regulasi yang adil," kata dia.
Sementara itu, Ketua Bidang Hukum FSP RTMM-SPSI, Andrie menambahkan dalam 2 tahun ini, pihaknya menurunkan tim advokasi guna mencegah kembali terjadinya PHK massal serta pembelaan terhadap pekerja yang di-PHK.
"Kita mengupayakan sedini mungkin, mengantisipasi supaya tidak ada PHK. Kalau sudah di-PHK kita cukup sulit melakukan advokasi," katanya.
Menurutnya ribuan pabrik rokok yang gulung tikar itu sekitar 80 persen di antaranya dari sektor industri sigaret kretek tangan (SKT) yang mempekerjakan perempuan dan berpendidikan rendah.
"Kita ambil contoh anggota serikat kita, dari 600 ribu lebih anggota tiap tahun, turun sekitar 30 ribu. Banyak faktor regulasi yang diperketat soal rokok," jelasnya.
Dari regulasi yang diperketat itu, lanjutnya, berdampak terhadap kelompok industri hulu, antara, dan hilir yang ada dalam IHT. Pihaknya telah melakukan advokasi dengan mendatangi Komisi XI DPR RI, Kementerian Kesehatan, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Keuangan.
"Kita sampaikan kondisi di lapangan, IHT sangat besar memberi kontribusi bagi negara. Dari pendapatan cukai hingga penyerapan tenaga kerja," ujarnya.
Menyangkut Rancangan Undang-undang Pertembakauan, dilihatnya masih banyak kepentingan antara pemerintah dan DPR sehingga hingga kini masih tarik-ulur. Ia pun belum bisa menyimpulkan apakah regulasi itu nanti bakal berpihak kepada siapa.
"Itu kan muncul tanpa ada permintaan, jadi kami belum bisa menyimpulkan. Tapi prinsipnya kita mengadvokasi untuk menjaga pekerja dan pengusaha, karena pekerja butuh pengusaha," pungkas Andrie. (dtc)