Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
MedanBisnis - Yogyakarta. Dua gamelan pusaka keraton Yogyakarta telah dibawa ke Masjid Besar Kauman untuk dibunyikan selama 7 hari berturut-turut. Dua gamelan, Kiai Guntur Madu dan Kiai Nogo Wilogo telah ditempat di Pagongan Lor dan Pagongan Kidul di halaman Masjid Besar Kauman.
Gamelan setiap hari dibunyikan secara bergantian. Puluhan warga berdatangan untuk menikmati suara gamelan yang ditabuh para abdi dalem. Gamelan dibunyikan pada pagi, siang dan malam selama 7 hari sampai Maulid Nabi Muhammad SAW. Gamelan ini dulunya adalah sebagia media yang digunakan Sunan Kalijaga untuk menyebarkan agama Islam.
Gamelan itu ditabuh oleh 17 abdi dalem setiap dibunyikan. Gamelan dibunyikan bergantian, Kiai Nogo Wilogo yang berada di Pagongan lor sekitar 2 jam dibunyikan. Setelah itu berganti Kiai Guntur Madu yang berada di Pagongan kidul.
Selama kurun waktu sepekan ini, ada 16 gendhing baku Sekaten yang akan terus menerus dimainkan. Untuk gendhing baku malam hari meliputi Gendhing Rambu, Rangkung, Andong-andong, Lung Gadhung Pel yang semuanya memiliki Laras Pelog Pathet Lima. Selain itu ada pula Gendhing Yahume, Burung Putih, Raja Pulang, Lenggang Rambon, Supiyatun, Ngajatun maupun Salatun.
Saat gamelan dibunyikan di sekitar halaman masjid dipenuhi pedagang nasi gurih dan daun sirih untuk menginang. Makna makan nasi gurih saat mendengarkan alunan gamelan itu bahwa ajaran Islam masuk ke hati sanubari dengan rasa gurih yang nikmat. Demikian pula dengan mengunyah daun sirih berarti ajaran Islam itu benar dan bisa merasuk kepada masyarakat.
Selain nasi gurih dan sirih, ada juga pedagang endog abang atau telur berwarna merah dan cemeti atau pecut. Cemeti atau pecut ini mengandung makna untuk pengendalian diri manusia dari hawa nafsu.
Salah satu warga yang nampak begitu menikmati alunan gamelan, Ngatiyem (72) mengaku suara gamelan tersebut jika didengarkan membuatnya tenteram. Setiap tahun, ia pasti datang untuk mendengar gamelan pusaka ditabuh.
"Dirungoke marai tentrem teng ati. Pendak tahun kulo mriki. Nek mboten niku gelo. Niki kulo ken ngterke anake, la pun tuo sakniki kulo (didengarkan itu bikin tenteram di hati, setiap tahun kesini untuk melihat. Kalau tidak kesini rasanya kecewa. Tadi saya suruh anter anak saya, karena sekarang sudah tua)," kata Ngatiyem di halaman Masjid Besar Kauman Yogyakarta.
Abdi dalem konco inggil, Krido Mardowo, Keraton Yogyakarta, Darjo Siogo (76) yang sudah 25 tahun mengabdi mengungkapkan pada zaman dulu yang datang untuk mendengarkan gamelang jumlahnya jauh banyak. Dulu suaranya yang merdu bisa terdengar sampai jauh. Karena dulu belum seramai sekarang yang banyak suara-suara lain.
"Dulu banyak, untuk mendengarkan gamelan, suaranya merdu itu sampai jauh terdengar," kata Darjo Siogo. (dtc)