Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan.Pilkada serentak 2018 sudah di depan mata. Berbagai persiapan telah dilakukan, baik oleh penyelenggara maupun oleh setiap kontestan yang akan bertarung. Dari 171 daerah di Indonesia yang terlibat dalam pilkada itu, Sumatera Utara adalah salah satunya. Lewat pilkada 2018, Sumatera Utara kembali akan memilih gubernur dan wakil gubernur yang akan memimpin daerah ini.
Lazimnya dalam setiap pilkada maupun pileg, para calon pemimpin itu akan berupaya keras mendapatkan simpati pemilih. Bahkan kendati sudah dilarang, kemungkinan politik identitas masih juga akan mewarnai pilkada di Sumatera Utara ini. Karenanya sejumlah warga Sumut mengimbau agar para kontestan tidak menggunakan politik identitas dengan dalih apapun.
Harapan itu disampaikan sejumlah warga etnis Tionghoa kepada medanbisnisdaily.com, Selasa (28/11). Salah satunya Peter Chandra warga Jalan Sekip 15, Medan. Dijelaskannya politik identitas sangat berbahaya karena hanya menguntungkan bagi satu golongan tertentu saja. Padahal sebagai pemimpin, idealnya seorang gubernur harus mengabdi kepada masyarakat tanpa memandang latar belakang identitasnya.
“Politik seperti itu sangat berbahaya karena berpotensi SARA. Lagipula pemilihan tidak dilandasi objektifitas. Padahal visi misi dan track record merupakan hal penting agar seseorang bisa dipilih. Jangan sampai orang memilih hanya karena yang dipilih itu satu golongan dengannya. Padahal secara prestasi belum tentu orang tersebut kredibel. Kita memerlukan pemimpin yang terbuka untuk siapa saja," jelasnya.
Harapan yang sama juga disampaikan warga Tionghoa lainnya, Karnadi Lim. Menurut warga Tanjung Morawa, Deliserdang ini, politik identitas semacam itu hanya akan merugikan masyarakat sendiri. Masyarakat memilih dengan cara tidak rasional. Sehingga mengabaikan hal yang penting yang harus dimiliki seorang calon pemimpin.
“Kita semua berharap Gubernur Sumatera Utara nantinya adalah orang yang mampu melayani siapa saja. Bukan satu atau dua golongan saja. Tapi itu akan sulit, bila sebelum terpilih saja ia sudah menunjukkan sikapnya yang tidak netral,” jelas Karnadi.
Politik identitas berdasarkan golongan, suku, agama sangat bertentangan dengan semangat Bhinneka Tunggal Ika. Sangat tidak etis kehidupan berbangsa yang majemuk ini, jika golongan A merasa mayoritas dan dengan leluasa memaksakan kehendak. Hal tersebut tentunya akan mencederai semangat Pancasila yang telah diletakkan sebagai pondasi bangsa Indonesia.
“Kita akan memilih pemimpin yang mau mengayomi masyarakat tanpa harus melihat latarbelakang suku, agama dan golongannya,” katanya.