Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
MedanBisnis - Ankara - Presiden Amerika Serikat Donald Trump dikabarkan akan mengumumkan pengakuan resmi AS bahwa Yerusalem merupakan ibu kota Israel. Pemerintah Turki menyebut hal itu akan memicu melapetaka. Langkah kontroversial itu juga dipastikan akan memicu konflik baru di kawasan Timur Tengah.
"Status Yerusalem dan Temple Mount telah ditentukan oleh kesepakatan internasional. Sangat penting untuk menjaga status Yerusalem demi melindungi perdamaian di kawasan," ucap Wakil Perdana Menteri Turki, Bekir Bozdag, seperti dilansir Reuters, Selasa (5/12/2017).
"Jika langkah lain diambil dan langkah ini dicabut, ini akan menjadi malapetaka besar," imbuh Bozdag yang juga juru bicara pemerintah Turki ini. Pernyataan ini disampaikan Bozdag saat berbicara kepada wartawan setempat usai menghadiri rapat kabinet di Ankara.
Pernyataan keras dari Turki ini merupakan salah satu dari sekian banyak peringatan yang dilontarkan berbagai negara untuk Presiden Trump. Presiden Prancis Emmanuel Macron juga mengingatkan Trump bahwa status Yerusalem harus diputuskan dalam 'kerangka perundingan antara Israel dan Palestina'.
Isu soal pengakuan Yerusalem ini mencuat setelah penasihat yang juga menantu Trump, Jared Kushner pada Minggu (3/12), menyatakan Trump semakin dekat untuk memutuskan apakah akan mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel atau tidak.
Secara terpisah, sejumlah pejabat AS menyebut Trump kemungkinan besar akan menyampaikan pidato publik pada Rabu (6/12) yang isinya secara sepihak mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Kushner yang juga menjadi utusan perdamaian Timur Tengah ini, tidak menyangkal juga tidak membenarkan laporan itu. "Presiden akan mengambil keputusannya," ujarnya.
Situasi semakin memanas dengan batas waktu bagi Trump untuk menandatangani 'surat pernyataan' yang isinya mengabaikan penerapan undang-undang yang diloloskan Kongres AS tahun 1995, telah dekat. Undang-undang ini mengatur kebijakan AS memindahkan Kedubes-nya ke Yerusalem.
Jika undang-undang diberlakukan, maka akan menjadi dukungan simbolis bagi Israel, dengan mengakui Yerusalem sebagai ibu kotanya. Dunia internasional selama ini hanya mengakui Tel Aviv sebagai ibu kota Israel. Surat pernyataan untuk mengabaikan undang-undang itu bisa diperbarui oleh Presiden AS yang menjabat, setiap enam bulan. Terakhir kali Trump menandatanganinya pada Juni lalu.
Presiden-presiden AS sebelumnya, seperti Bill Clinton, George W Bush dan Barack Obama selalu menginstruksikan Menteri Luar Negeri AS untuk menunda 'pemindahan' Kedubes AS dari Tel Aviv, ke Yerusalem.
Lebih lanjut, Bozdag menegaskan, langkah AS mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel tidak akan menguntungkan siapa-siapa, baik Israel juga kawasan Timur Tengah. "Ini tidak akan membawa kebaikan apapun. Bukannya membuka pintu baru, ini akan menyeret kawasan (Timur Tengah) ke dalam bencana baru," ucapnya. (dtc)